Selasa, 10 November 2009

PROFIL TANAH

MOH. FIKRI POMALINGO
G 621 08 010
I. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Manusia yang hidup di permukaan bumi amat tergantung kepada tanah. Sebaliknya suatu tanah pertanian yang baik ditentukan pula oleh sampai sejauh mana manusia itu cukup terampil mengelolanya, sehingga justru bukan kebalikannya yang terjadi yakni kesalahan dalam pengelolaannya akan dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan tanah dipandang dari kesuburannya. Tanah itu adalah tubuh alam (natural body) yang terbentuk dan berkembang sebagai akibat bekerjanya gaya-gaya alam (natural forces) terhadap bahan-bahan alam (natural material) di permukaan bumi.
Tanah secara vertikal berdifferensiasi membentuk horizon-horizon (lapisan-lapisan) yang berbeda-beda baik dalam morfologis seperti ketebalan dan warnanya, maupun karakteristik fisik, kimiawi, dan biologis masing-masing sebagai konsekuensi bekerjanya faktor-faktor lingkungan terhadap bahan induk maupun bahan-bahan eksternal, berupa bahan organik sisa-sisa biota yang hidup di atasnya dan mineral nonbahan-induk yang berasal dari letusan gunung api atau yang terbawa oleh aliran air. Susunan horizon-horizon tanah dalam lapisan permukaan bumi setebal 100-120 cm disebut sebagai profil tanah. Umumnya profil tanah telah memiliki dua atau lebih horizon utama.


Tanah tersusun dari air, udara, dan bagian padat yang terdiri dari bahan-bahan mineral dan organik yang berperan dalam pertumbuhan tanaman. Dalam kondisi alam, perbandingan udara dan air selalu berubah-ubah, tergantung pada iklim dan faktor lainnya. Tanah merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia. Tanah dapat digunakan untuk medium tumbuh tanam-tanaman yang mampu menghasilkan makanan, sandang, obat-obatan serta keperluan lainnya.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari pengamatan profil tanah adalah untuk mengetahui sifat-sifat fisik tanah serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Kegunaan dari pengamatan profil tanah adalah untuk memperlihatkan perbedaan dan karakteristik pada berbagai lapisan tanah serta menentukan jenis pengelolaan tanah lebih lanjut.
II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tanah Alfisol
Molisol yang lebih lembab (udol) terjadi di kawasan basah dengan pohon sebagai vegetasi alami. Banyak teori telah dikemukakan untuk menerangkan padang rumput yang sangat luas yang terdapat di Iowa dan Illionois. Di sepanjang perbatasan Molisol yang lebih basah terdapat daerah tanah luas yang dikembangkan di bawah pohon-pohon dengan epipedon okrik, horison bawah permukaan argilik (horison aluvial dari penimbunan tanah liat silikat), dan kejenuhan basa yang sama atau agak lebih rendah daripada Molisol di dekatnya. Tanah-tanah ini adalah Alfisol
(Foth, 1994).
Tanah-tanah yang mempunyai kandungan liat tinggi di horizon B (horizon argilik) dibedakan menjadi tanah Alfisol (pelapukan belum lanjut) dan tanah Ultisol (pelapukan lanjut). Tanah Alfisol kebanyakan ditemukan di daerah beriklim sedang, tetapi dapat pula ditemukan di daerah tropika dan subtropika terutama di tempat-tempat dengan tingkat pelapukan sedang (Hardjowigeno, 2003).
Perkembangan struktur yang berbeda di antara horison merupakan morfologi yang khas dari Alfisol. Alfisol diartikan oleh horison argilik yaitu horison B yang paling sedikit mengandung 1,2 kali liat lebih besar daripada liat di atasnya. Horison pada utamanya memperlihatkan struktur bersudut atau kubus.
Morfologi yang khas dari Alfisol dicirikan oleh horison permukaan umumnya berwarna terang karena dipengaruhi oleh beberapa jenis mineral seperti kuarsa yang dapat mempengaruhi warna tanah Alfisol lebih terang (Foth, 1994).
Tanah Alfisol memiliki struktur tanah yang liat. Liat yang tertimbun di horison bawah ini berasal dari horison di atasnya dan tercuci ke bawah bersama gerakan air. Dalam banyak pola Alfisol digambar adanya perubahan tekstur yang sangat jelas dalam jarak vertikal yang sangat pendek dikenal dalam taksonomi tanah (USDA, 1985) sebagai Abrupat Tekstural Change (perubahan tekstur yang sangat ekstrim) (Buckman dan Brady, 1982).
Tanah Alfisol memiliki pH ysng sering kali berubah dengan meningkatnya kedalaman dan kecenderungan lebih tinggi pada bagian bawah profil dan sejumlah bahan-bahan glasial sampai ke suatu karbonat bebas dengan pH 8,0 lebih tinggi. Hal ini umumnya dianggap bergerak ke bawah namun juga berdimensi horison, dimana terakhir berhubungan erat dengan perkembangan akar
(Hanafiah, 2004).
Tanah-tanah mediteran (Alfisol) terdapat di kaki bukit dan dataran berombak pada gunung berapi tua, batu kapur, dan bukit-bukit biasanya berasosiasi Gromol sebagai suatu peralihan dari tanah Latosol Coklat Kemerahan ke Grumosol. Bentukan dari tuff vulkan biasanya mempunyai tekstur yang ringan, gumpal membulat, teguh (kering) atau agak gambur (lembab), mempunyai bercak-bercak dari besi dan mangan yang biasanya terdapat konkresi di bawah pada bajak dan mempunyai selaput liat pada ped surfaces. pH bervariasi sekitar 6.5 – 7.0, KTK 25 - 35 me/100 gram tanah, kejenuhan basa lebih dari 50%. Kandungan P dan K sangat tergantung dengan umur dan macam tuff. Tanah-tanah yang berkembang dari batuan kapur, tidak memperlihatkan bercak-bercak gley, pH dan kejenuhan basa yang tinggi serta kandungan P dan K yang rendah. Luas areal tanah mediteran ini meliputi luas 350.000 hektar (Hakim, dkk. 1986).
2.2 Pembentukan Tanah Alfisol Dan Yang Mempengaruhinya
Tanah Alfisol terbentuk dari bahan-bahan yang mengandung karbonat dan tidak lebih tua dari Pleistosin. Di daerah dingin, hampir semuanya berasal dari bahan induk yang berkapur dan masih muda. Di daerah basah, bahan induk biasanya lebih tua daripada di daerah dingin. Tanah Alfisol dapat ditemukan pada wilayah dengan temperatur sudang/sub tropik dengan adanya pergantian musim hujan dan musim kering. Pembentukan tanah Alfisol memerlukan waktu ± 5000 tahun karena lambatnya proses akumulasi liat untuk membentuk horison argilik. Di Indonesia, pembentukan tanah alfisol memerlukan waktu sekitar 2000 sampai 7000 tahun yang berdasarkan tingkat perkembangan horisonnya (Munir, 1996).
Ada dua syarat yang diperlukan pembentukan tanah Alfisol, yaitu ditemukan mineral liat kristalin yang sedang jumlahnya dan terjadi akumulasi liat kristalin tersebut di horison B yang jumlahnya memenuhi syarat horison argilik, atau kandik. Translokasi liat tersebut terjadi dalam lingkungan agak masam atau dalam lingkungan ”sodik alkaline”. Keadaan lingkungan yang memungkinkan terbentuknya horison spodik, mollik atau horison lain yang bukan argilik tidak terdapat. Alfisol ditemukan di banyak zone iklim, tetapi yang utama adalah di daerah beriklim sedang yang bersifat humid atau subhumid, dengan bahan induk relatif muda dan stabil paling sedikit selama beberapa ribu tahun. Oleh karena itu, Alfisol adalah tanah yang relatif muda, masih banyak mengandung mineral primer yang mudah lapuk, mineral liat kristalin dan kaya unsur hara. Di daerah tropika ditemukan di tempat yang lebih muda daripada daerah-daerah Ultisol dan Oxisol, atau di tempat-tempat dengan bahan induk mafic. Proses pembentukan Alfisol melalui urutan sebagai berikut :
Pencucian Karbonat. Pencucian karbonat dari lapisan atas merupakan prasyarat untuk pembentukan Alfisol. Kalsium karbonat (dan bikar-bonat) merupakan flocculant yang kuat sehingga dalam pembentukan Alfisol, karbonat perlu dicuci lebih dulu agar plasma menjadi lebih mudah bergerak bersama dengan air perkolasi. Dengan pencucian karbonat ini tanah lapisan atas menjadi lebih masam kadang-kadang sampai mencapai pH 4,5.
Pencucian Besi dan Braunifikasi. Besi sebagai flocculant dengan kekuatan sedang mengalami pencucian dari lapisan atas setelah karbonat, dan diendapkan di horison B, sehingga warna tanah menjadi coklat (braunification).
Pembentukan Epipedon Okhrik (Horison A). Bahan organik tidak tercampur terlalu dalam dengan bahan-mineral, karena akar-akar halus tanaman hutan tidak terlalu banyak masuk ke dalam tanah seperti daerah padang rumput. Bahan organik yang terdapat di permukaan tanah dicampur dengan bahan mineral oleh cacing atau hewan-hewan lain, pada kedalaman 2-10 cm, sehingga terbentuk lapisan mull (horison A).
Proses biocycling unsur hara dan basa-basa dari subsoil ke horison O dan A merupakan proses yang penting untuk tanah Udalf. Hal ini dapat menyebabkan reaksi tanah di permukaan menjadi hampir netral (pH 6,5-7,0), sedang reaksi tanah di subsoil menjadi lebih masam (pH 4,8-5,8).
Pembentukan Horison Albik. Beberapa jenis Alfisol ada yang memiliki horison E yang jelas berwarna pucat yang disebut horison albik (misalnya tanah Albaqualf). Horison ini terbentuk sebagai akibat pencucian liat dan bahan organik, sedang proses mineralisasi sedikit sekali terjadi. Pencucian liat berjalan secara mekanik (lessivage) bersama air perkolasi. Horison albik kadang-kadang juga mengandung juga mengandung cukup banyak bahan organik tetapi tidak berwarna. Mineral-mineral resisten seperti kuarsa menjadi lebih banyak di horison A dan rasio SiO2/R2O3 menjadi lebih besar dari Bt.
Pengendapan Argillan. Terjadinya pengendapan liat (argillan) bersama seskuioksida dan bahan organik di horison Bt disebabkan oleh beberapa hal, yaitu air perkolasi tidak cukup banyak sehingga tidak dapat meresap lebih jauh ke dalam tanah, butir-butir tanah yang mengembang, menutup pori-pori tanah sehingga air perkolasi lambat bergerak, penyaringan oleh pori-pori halus yang tersumbat, dan flokulasi liat bermuatan negatif oleh besi oksida yang bermuatan positif di horison Bt dan oleh kejenukan basa yang lebih tinggi setelah kemarau panjang mendorong pembentukan Alfisol (Hardjowigeno, 2003).


III. KEADAAN UMUM LOKASI


3.1 Letak Administratif
Lokasi tempat penelitian profil tanah adalah di wilayah Ex-Farm Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar, secara administratif terletak pada :
- Sebelah Utara : Pemukiman penduduk
- Sebelah Timur : Laboratorium Peternakan
- Sebelah Selatan : Politeknik
- Sebelah Barat : Kebun Ex-Farm Ilmu Tanah
3.2 Iklim
Iklim merupakan faktor yang amat penting dalam proses pembentukan tanah. Suhu dan curah hujan sangat berpengaruh terhadap intensitas reaksi fisik di
dalam tanah. Daerah ini termasuk iklim C, sesuai dengan pembagian iklim Schmit Fergussan. Keadaan di lokasi adalah C2-C3 dengan curah hujan rata-rata berkisar 800-1500 mm.
3.3 Topografi
Topografi merupakan perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Keadaan topografi di tempat pengambilan profil tanah adalah datar dengan persen kelerengannya adalah 0% - 3%.

3.4 Vegetasi
Vegetasi pada tempat pengambilan sampel tanah di profil dalam adalah subur, dengan tanaman utama berupa rumput ilalang dan tanaman lain berupa bambu, pohon mangga, dan pohon pisang. Sedangkan pada tempat pengambilan sampel tanah pada profil dangkal adalah vegetasinya subur, dengan tanaman utama berupa rumput dan tanaman lainnya berupa pohon jati.
3.5 Jenis Tanah
Jenis tanah pada daerah pengamatan profil tanah menurut USDA adalah jenis tanah Alfisol dan menurut ISSS merupakan jenis tanah mediteran merah kuning.
3.6 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan pada lokasi pengambilan sampel tanah profil dalam adalah tanah perkebunan, sedangkan penggunaan lahan pada lokasi pengambilan sampel tanah profil dangkal adalah tanah persawahan.

IV. BAHAN DAN METODE

4.1 Tempat dan Waktu
Pengamatan profil tanah dilaksanakan di Ex-Farm Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar pada hari Minggu, tanggal 01 April 2007, pada pukul 09.00 WITA – selesai.
4.2 Alat dan Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan pada saat pengambilan sampel tanah profil adalah cangkul, linggis, sekop, sendok tanah, cutter, meteran, papan ukuran 10 x 15 cm, dan ring sampel.
Adapun bahan-bahan yang digunakan pada saat pengambilan sampel tanah adalah tanah, air, kantong plastik, dan kertas label.
4.3 Prosedur Kerja
4.3.1 Pembuatan Profil
- Lubang penampang harus besar, supaya orang dapat mudah duduk atau berdiri di dalamnya dan pemeriksaan dapat berjalan dengan sempurna.
- Ukuran penampang 1,5 x 1 m sampai bahan induk dan memilih pemeriksaan di sisi lubang penampang yang mendapat sinar matahari, di tempat miring penampang pada dinding teratas.
- Tanah bekas galian tidak ditumpuk di atas sisi penampang pemeriksaan.
- Mengeluarkan air di dalam penampang jika berair sebelum pengambilan.
- Melakukan pengamatan pada sinar matahari cukup (tidak terlalu pagi atau sore).
4.3.2 Pengambilan Sampel Tanah
4.3.2.1 Sampel Tanah Utuh
- Meratakan dan membersihkan lapisan yang akan diambil, kemudian meletakkan ring sampel tegak lurus pada lapisan tanah tersebut.
- Menekan ring sampel sampai ¾ bagiannya masuk ke dalan tanah.
- Meletakkan ring sampel lain tepat di atas ring sampel pertama, kemudian menekan lagi sampai bagian bawah masuk ke dalam tanah.
- Menggali ring sampel beserta tanah di dalamnya dengan sekop dan linggis.
- Memisahkan ring sampel kedua dari ring sampel pertama dengan hati-hati, kemudian memotong kelebihan tanah yang ada pada permukaan ring sampel.
- Menutup ring sampel dengan plastik, lalu menyimpannya dalam kotak khusus yang telah disediakan.
4.3.2.2 Sampel Ring Terganggu
- Mengambil tanah dengan sendok tanah atau pisau sesuai dengan lapisan yang akan diambil.
- Memasukkan tanah ke dalam kantong plastik yang telah diberi kertas label.
V. PEMBAHASAN
Pembahasan
Berdasarkan pada tabel di atas, terlihat bahwa setiap tanah mempunyai horison-horison yang berbeda. Lapisan I pada profil dalam mempunyai kedalaman lapisan 0 - 36 cm dan berwarna coklat kehitaman. Warna gelap tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh kandungan bahan organik yang tinggi yang terdekomposisi, karena di dalam bahan organik terjadi peristiwa immobilisasi, dimana ion Fe, Al, dan Mn berpengaruh besar dalam perombakan bahan organik sehingga ion-ion tersebut mudah difiksasi oleh ion P. Penyebab lainnya adalah adanya perbedaan nyata dari sifat retraktif (aksi pembiasan cahaya) komponen padatan tanah dan udara. Hal ini dituturkan oleh Hardjowigeno (2003). Memiliki tekstur lempung berliat dan struktur sedang, karena pada saat pengambilan profil butir-butir struktur agak kuat dan tidak hancur atau rusak. Konsistensinya lepas, karena tanah tidak melekat satu sama lain, dan tidak ada karatan. Tidak adanya karatan disebabkan adanya keseimbangan antara oksidasi dan reduksi yang terjadi di dalam tanah.
Lapisan II pada profil dalam mempunyai kedalaman lapisan 36 - 121 cm dan berwarna coklat muda. Memiliki tekstur lempung berliat dan struktur sedang karena pada saat pengambilan profil butir-butir struktur agak kuat dan tidak hancur atau rusak. Konsistensinya lepas karena tanah tidak melekat satu sama lain, dan tidak ada karatan. Tidak adanya karatan disebabkan adanya keseimbangan antara oksidasi dan reduksi yang terjadi di dalam tanah.
Lapisan III pada profil dalam berwarna coklat muda dengan kedalaman lapisan 121 - 134 cm. Memiliki tekstur liat dan struktur halus. Konsistensinya gembur, karena diperlukan sedikit tekanan untuk menghancurkan gumpalan tanah dengan meremasnya. Tidak memiliki karatan karena adanya keseimbangan antara oksidasi dan reduksi yang terjadi di dalam tanah.
Pada profil dangkal, lapisan I memiliki kedalaman lapisan 0 - 35 cm dengan warna coklat. Memiliki tekstur liat berdebu dan struktur yang halus. Konsistensinya agak plastik, karena hanya gulungan tanah kurang dari 1 cm yang dapat terbentuk. Memiliki karatan Fe yang berwarna agak merah bata. Terbentuk karatan Fe karena terjadinya reduksi besi ke bentuk larutan dan oksidasi yang menyebabkan terjadinya presipitasi. Hal ini sependapat dengan Hardjowigeno (2003), yang menjelaskan bahwa bila tanah kadang-kadang basah kadang-kadang kering, terdapat bercak-bercak karatan di tempat-tempat dimana udara dapat masuk sehingga terjadi oksidasi besi di tempat tersebut.
Lapisan II pada profil dangkal memiliki kedalaman 35 - 67 cm dengan warna abu-abu. Memiliki tekstur liat berdebu dan struktur yang halus. Konsistensinya agak plastik karena hanya gulungan tanah kurang dari 1 cm yang dapat terbentuk. Memiliki karatan Mn yang berwarna hitam seperti arang, tetapi apabila diremas tidak meninggalkan noda hitam di tangan. Karatan Mn terjadi karena terjadinya reduksi mangan ke bentuk larutan dan oksidasi yang menyebabkan terjadinya presipitasi yang berwarna hitam seperti arang. Adanya karatan menunjukkan bahwa udara masih dapat masuk ke dalam tanah sehingga terjadi oksidasi di tempat tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardjowigeno (2003) bahwa bila air tidak pernah menggenang sehingga tata udara dalam tanah selalu baik, maka seluruh profil tanah dalam keadaan oksidasi . Oleh karena itu seluruh tanah umumnya berwarna merah atau coklat.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan
6.1.1 Profil Dalam
- Lapisan I mempunyai kedalaman 0 - 36 cm dengan warna coklat kehitaman, memiliki batasan lapisan berangsur, topografi batas lapisan berombak, konsistensi tanah lepas, tekstur lempung berliat, struktur sedang, dan tidak ada karatan.
- Lapisan II mempunyai kedalaman 36 - 121 cm dengan warna tanah coklat muda, memiliki batasan lapisan baur, topografi batas lapisan berombak, konsistensi tanah lepas, tekstur lempung berliat, struktur sedang, dan tidak ada karatan.
- Lapisan III mempunyai kedalaman 121 - 134 cm dengan warna tanah coklat muda, memiliki batasan lapisan baur, topografi batas lapisan rata, konsistensi tanah gembur, tekstur liat, struktur halus, dan tidak ada karatan.
6.1.2 Profil Dangkal
- Lapisan I mempunyai kedalaman 0 - 35 cm dengan warna coklat, batasan lapisan nyata, topografi batas lapisan berombak, tekstur liat berdebu, struktur halus, konsistensi agak plastik, dan terdapat karatan Fe.

- Lapisan II mempunyai kedalaman 35 - 67 cm dengan warna abu-abu, batasan lapisan nyata, topografi batas lapisan berombak, tekstur lempung berdebu, struktur halus, konsistensi agak plastik, dan terdapat karatan Mn.
6.2 Saran
Berdasarkan dari pengamatan yang telah dilakukan bahwa tanah yang dipakai pada percobaan ini merupakan tanah yang cukup subur, maka sebaiknya ditanami dengan tanaman yang berproduksi tinggi dengan perawatan yang baik.

DAFTAR PUSTAKA


Buckman dan Brady, 1982. Ilmu Tanah. Bharata Karya Aksara, Jakarta
Foth, Hendry D., 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Erlangga, Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Hakim, N., M. Yusuf Nyakpa, A. M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Amin Diha, Go Ban Hong, H. H. Bailey, 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung

Hardjowigeno, H. Sarwono., 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta

Munir, 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Pustaka Jaya, Jakarta















Tidak ada komentar:

Posting Komentar