Selasa, 10 November 2009

PROFIL TANAH

MOH. FIKRI POMALINGO
G 621 08 010
I. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Manusia yang hidup di permukaan bumi amat tergantung kepada tanah. Sebaliknya suatu tanah pertanian yang baik ditentukan pula oleh sampai sejauh mana manusia itu cukup terampil mengelolanya, sehingga justru bukan kebalikannya yang terjadi yakni kesalahan dalam pengelolaannya akan dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan tanah dipandang dari kesuburannya. Tanah itu adalah tubuh alam (natural body) yang terbentuk dan berkembang sebagai akibat bekerjanya gaya-gaya alam (natural forces) terhadap bahan-bahan alam (natural material) di permukaan bumi.
Tanah secara vertikal berdifferensiasi membentuk horizon-horizon (lapisan-lapisan) yang berbeda-beda baik dalam morfologis seperti ketebalan dan warnanya, maupun karakteristik fisik, kimiawi, dan biologis masing-masing sebagai konsekuensi bekerjanya faktor-faktor lingkungan terhadap bahan induk maupun bahan-bahan eksternal, berupa bahan organik sisa-sisa biota yang hidup di atasnya dan mineral nonbahan-induk yang berasal dari letusan gunung api atau yang terbawa oleh aliran air. Susunan horizon-horizon tanah dalam lapisan permukaan bumi setebal 100-120 cm disebut sebagai profil tanah. Umumnya profil tanah telah memiliki dua atau lebih horizon utama.


Tanah tersusun dari air, udara, dan bagian padat yang terdiri dari bahan-bahan mineral dan organik yang berperan dalam pertumbuhan tanaman. Dalam kondisi alam, perbandingan udara dan air selalu berubah-ubah, tergantung pada iklim dan faktor lainnya. Tanah merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia. Tanah dapat digunakan untuk medium tumbuh tanam-tanaman yang mampu menghasilkan makanan, sandang, obat-obatan serta keperluan lainnya.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari pengamatan profil tanah adalah untuk mengetahui sifat-sifat fisik tanah serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Kegunaan dari pengamatan profil tanah adalah untuk memperlihatkan perbedaan dan karakteristik pada berbagai lapisan tanah serta menentukan jenis pengelolaan tanah lebih lanjut.
II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tanah Alfisol
Molisol yang lebih lembab (udol) terjadi di kawasan basah dengan pohon sebagai vegetasi alami. Banyak teori telah dikemukakan untuk menerangkan padang rumput yang sangat luas yang terdapat di Iowa dan Illionois. Di sepanjang perbatasan Molisol yang lebih basah terdapat daerah tanah luas yang dikembangkan di bawah pohon-pohon dengan epipedon okrik, horison bawah permukaan argilik (horison aluvial dari penimbunan tanah liat silikat), dan kejenuhan basa yang sama atau agak lebih rendah daripada Molisol di dekatnya. Tanah-tanah ini adalah Alfisol
(Foth, 1994).
Tanah-tanah yang mempunyai kandungan liat tinggi di horizon B (horizon argilik) dibedakan menjadi tanah Alfisol (pelapukan belum lanjut) dan tanah Ultisol (pelapukan lanjut). Tanah Alfisol kebanyakan ditemukan di daerah beriklim sedang, tetapi dapat pula ditemukan di daerah tropika dan subtropika terutama di tempat-tempat dengan tingkat pelapukan sedang (Hardjowigeno, 2003).
Perkembangan struktur yang berbeda di antara horison merupakan morfologi yang khas dari Alfisol. Alfisol diartikan oleh horison argilik yaitu horison B yang paling sedikit mengandung 1,2 kali liat lebih besar daripada liat di atasnya. Horison pada utamanya memperlihatkan struktur bersudut atau kubus.
Morfologi yang khas dari Alfisol dicirikan oleh horison permukaan umumnya berwarna terang karena dipengaruhi oleh beberapa jenis mineral seperti kuarsa yang dapat mempengaruhi warna tanah Alfisol lebih terang (Foth, 1994).
Tanah Alfisol memiliki struktur tanah yang liat. Liat yang tertimbun di horison bawah ini berasal dari horison di atasnya dan tercuci ke bawah bersama gerakan air. Dalam banyak pola Alfisol digambar adanya perubahan tekstur yang sangat jelas dalam jarak vertikal yang sangat pendek dikenal dalam taksonomi tanah (USDA, 1985) sebagai Abrupat Tekstural Change (perubahan tekstur yang sangat ekstrim) (Buckman dan Brady, 1982).
Tanah Alfisol memiliki pH ysng sering kali berubah dengan meningkatnya kedalaman dan kecenderungan lebih tinggi pada bagian bawah profil dan sejumlah bahan-bahan glasial sampai ke suatu karbonat bebas dengan pH 8,0 lebih tinggi. Hal ini umumnya dianggap bergerak ke bawah namun juga berdimensi horison, dimana terakhir berhubungan erat dengan perkembangan akar
(Hanafiah, 2004).
Tanah-tanah mediteran (Alfisol) terdapat di kaki bukit dan dataran berombak pada gunung berapi tua, batu kapur, dan bukit-bukit biasanya berasosiasi Gromol sebagai suatu peralihan dari tanah Latosol Coklat Kemerahan ke Grumosol. Bentukan dari tuff vulkan biasanya mempunyai tekstur yang ringan, gumpal membulat, teguh (kering) atau agak gambur (lembab), mempunyai bercak-bercak dari besi dan mangan yang biasanya terdapat konkresi di bawah pada bajak dan mempunyai selaput liat pada ped surfaces. pH bervariasi sekitar 6.5 – 7.0, KTK 25 - 35 me/100 gram tanah, kejenuhan basa lebih dari 50%. Kandungan P dan K sangat tergantung dengan umur dan macam tuff. Tanah-tanah yang berkembang dari batuan kapur, tidak memperlihatkan bercak-bercak gley, pH dan kejenuhan basa yang tinggi serta kandungan P dan K yang rendah. Luas areal tanah mediteran ini meliputi luas 350.000 hektar (Hakim, dkk. 1986).
2.2 Pembentukan Tanah Alfisol Dan Yang Mempengaruhinya
Tanah Alfisol terbentuk dari bahan-bahan yang mengandung karbonat dan tidak lebih tua dari Pleistosin. Di daerah dingin, hampir semuanya berasal dari bahan induk yang berkapur dan masih muda. Di daerah basah, bahan induk biasanya lebih tua daripada di daerah dingin. Tanah Alfisol dapat ditemukan pada wilayah dengan temperatur sudang/sub tropik dengan adanya pergantian musim hujan dan musim kering. Pembentukan tanah Alfisol memerlukan waktu ± 5000 tahun karena lambatnya proses akumulasi liat untuk membentuk horison argilik. Di Indonesia, pembentukan tanah alfisol memerlukan waktu sekitar 2000 sampai 7000 tahun yang berdasarkan tingkat perkembangan horisonnya (Munir, 1996).
Ada dua syarat yang diperlukan pembentukan tanah Alfisol, yaitu ditemukan mineral liat kristalin yang sedang jumlahnya dan terjadi akumulasi liat kristalin tersebut di horison B yang jumlahnya memenuhi syarat horison argilik, atau kandik. Translokasi liat tersebut terjadi dalam lingkungan agak masam atau dalam lingkungan ”sodik alkaline”. Keadaan lingkungan yang memungkinkan terbentuknya horison spodik, mollik atau horison lain yang bukan argilik tidak terdapat. Alfisol ditemukan di banyak zone iklim, tetapi yang utama adalah di daerah beriklim sedang yang bersifat humid atau subhumid, dengan bahan induk relatif muda dan stabil paling sedikit selama beberapa ribu tahun. Oleh karena itu, Alfisol adalah tanah yang relatif muda, masih banyak mengandung mineral primer yang mudah lapuk, mineral liat kristalin dan kaya unsur hara. Di daerah tropika ditemukan di tempat yang lebih muda daripada daerah-daerah Ultisol dan Oxisol, atau di tempat-tempat dengan bahan induk mafic. Proses pembentukan Alfisol melalui urutan sebagai berikut :
Pencucian Karbonat. Pencucian karbonat dari lapisan atas merupakan prasyarat untuk pembentukan Alfisol. Kalsium karbonat (dan bikar-bonat) merupakan flocculant yang kuat sehingga dalam pembentukan Alfisol, karbonat perlu dicuci lebih dulu agar plasma menjadi lebih mudah bergerak bersama dengan air perkolasi. Dengan pencucian karbonat ini tanah lapisan atas menjadi lebih masam kadang-kadang sampai mencapai pH 4,5.
Pencucian Besi dan Braunifikasi. Besi sebagai flocculant dengan kekuatan sedang mengalami pencucian dari lapisan atas setelah karbonat, dan diendapkan di horison B, sehingga warna tanah menjadi coklat (braunification).
Pembentukan Epipedon Okhrik (Horison A). Bahan organik tidak tercampur terlalu dalam dengan bahan-mineral, karena akar-akar halus tanaman hutan tidak terlalu banyak masuk ke dalam tanah seperti daerah padang rumput. Bahan organik yang terdapat di permukaan tanah dicampur dengan bahan mineral oleh cacing atau hewan-hewan lain, pada kedalaman 2-10 cm, sehingga terbentuk lapisan mull (horison A).
Proses biocycling unsur hara dan basa-basa dari subsoil ke horison O dan A merupakan proses yang penting untuk tanah Udalf. Hal ini dapat menyebabkan reaksi tanah di permukaan menjadi hampir netral (pH 6,5-7,0), sedang reaksi tanah di subsoil menjadi lebih masam (pH 4,8-5,8).
Pembentukan Horison Albik. Beberapa jenis Alfisol ada yang memiliki horison E yang jelas berwarna pucat yang disebut horison albik (misalnya tanah Albaqualf). Horison ini terbentuk sebagai akibat pencucian liat dan bahan organik, sedang proses mineralisasi sedikit sekali terjadi. Pencucian liat berjalan secara mekanik (lessivage) bersama air perkolasi. Horison albik kadang-kadang juga mengandung juga mengandung cukup banyak bahan organik tetapi tidak berwarna. Mineral-mineral resisten seperti kuarsa menjadi lebih banyak di horison A dan rasio SiO2/R2O3 menjadi lebih besar dari Bt.
Pengendapan Argillan. Terjadinya pengendapan liat (argillan) bersama seskuioksida dan bahan organik di horison Bt disebabkan oleh beberapa hal, yaitu air perkolasi tidak cukup banyak sehingga tidak dapat meresap lebih jauh ke dalam tanah, butir-butir tanah yang mengembang, menutup pori-pori tanah sehingga air perkolasi lambat bergerak, penyaringan oleh pori-pori halus yang tersumbat, dan flokulasi liat bermuatan negatif oleh besi oksida yang bermuatan positif di horison Bt dan oleh kejenukan basa yang lebih tinggi setelah kemarau panjang mendorong pembentukan Alfisol (Hardjowigeno, 2003).


III. KEADAAN UMUM LOKASI


3.1 Letak Administratif
Lokasi tempat penelitian profil tanah adalah di wilayah Ex-Farm Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar, secara administratif terletak pada :
- Sebelah Utara : Pemukiman penduduk
- Sebelah Timur : Laboratorium Peternakan
- Sebelah Selatan : Politeknik
- Sebelah Barat : Kebun Ex-Farm Ilmu Tanah
3.2 Iklim
Iklim merupakan faktor yang amat penting dalam proses pembentukan tanah. Suhu dan curah hujan sangat berpengaruh terhadap intensitas reaksi fisik di
dalam tanah. Daerah ini termasuk iklim C, sesuai dengan pembagian iklim Schmit Fergussan. Keadaan di lokasi adalah C2-C3 dengan curah hujan rata-rata berkisar 800-1500 mm.
3.3 Topografi
Topografi merupakan perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Keadaan topografi di tempat pengambilan profil tanah adalah datar dengan persen kelerengannya adalah 0% - 3%.

3.4 Vegetasi
Vegetasi pada tempat pengambilan sampel tanah di profil dalam adalah subur, dengan tanaman utama berupa rumput ilalang dan tanaman lain berupa bambu, pohon mangga, dan pohon pisang. Sedangkan pada tempat pengambilan sampel tanah pada profil dangkal adalah vegetasinya subur, dengan tanaman utama berupa rumput dan tanaman lainnya berupa pohon jati.
3.5 Jenis Tanah
Jenis tanah pada daerah pengamatan profil tanah menurut USDA adalah jenis tanah Alfisol dan menurut ISSS merupakan jenis tanah mediteran merah kuning.
3.6 Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan pada lokasi pengambilan sampel tanah profil dalam adalah tanah perkebunan, sedangkan penggunaan lahan pada lokasi pengambilan sampel tanah profil dangkal adalah tanah persawahan.

IV. BAHAN DAN METODE

4.1 Tempat dan Waktu
Pengamatan profil tanah dilaksanakan di Ex-Farm Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar pada hari Minggu, tanggal 01 April 2007, pada pukul 09.00 WITA – selesai.
4.2 Alat dan Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan pada saat pengambilan sampel tanah profil adalah cangkul, linggis, sekop, sendok tanah, cutter, meteran, papan ukuran 10 x 15 cm, dan ring sampel.
Adapun bahan-bahan yang digunakan pada saat pengambilan sampel tanah adalah tanah, air, kantong plastik, dan kertas label.
4.3 Prosedur Kerja
4.3.1 Pembuatan Profil
- Lubang penampang harus besar, supaya orang dapat mudah duduk atau berdiri di dalamnya dan pemeriksaan dapat berjalan dengan sempurna.
- Ukuran penampang 1,5 x 1 m sampai bahan induk dan memilih pemeriksaan di sisi lubang penampang yang mendapat sinar matahari, di tempat miring penampang pada dinding teratas.
- Tanah bekas galian tidak ditumpuk di atas sisi penampang pemeriksaan.
- Mengeluarkan air di dalam penampang jika berair sebelum pengambilan.
- Melakukan pengamatan pada sinar matahari cukup (tidak terlalu pagi atau sore).
4.3.2 Pengambilan Sampel Tanah
4.3.2.1 Sampel Tanah Utuh
- Meratakan dan membersihkan lapisan yang akan diambil, kemudian meletakkan ring sampel tegak lurus pada lapisan tanah tersebut.
- Menekan ring sampel sampai ¾ bagiannya masuk ke dalan tanah.
- Meletakkan ring sampel lain tepat di atas ring sampel pertama, kemudian menekan lagi sampai bagian bawah masuk ke dalam tanah.
- Menggali ring sampel beserta tanah di dalamnya dengan sekop dan linggis.
- Memisahkan ring sampel kedua dari ring sampel pertama dengan hati-hati, kemudian memotong kelebihan tanah yang ada pada permukaan ring sampel.
- Menutup ring sampel dengan plastik, lalu menyimpannya dalam kotak khusus yang telah disediakan.
4.3.2.2 Sampel Ring Terganggu
- Mengambil tanah dengan sendok tanah atau pisau sesuai dengan lapisan yang akan diambil.
- Memasukkan tanah ke dalam kantong plastik yang telah diberi kertas label.
V. PEMBAHASAN
Pembahasan
Berdasarkan pada tabel di atas, terlihat bahwa setiap tanah mempunyai horison-horison yang berbeda. Lapisan I pada profil dalam mempunyai kedalaman lapisan 0 - 36 cm dan berwarna coklat kehitaman. Warna gelap tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh kandungan bahan organik yang tinggi yang terdekomposisi, karena di dalam bahan organik terjadi peristiwa immobilisasi, dimana ion Fe, Al, dan Mn berpengaruh besar dalam perombakan bahan organik sehingga ion-ion tersebut mudah difiksasi oleh ion P. Penyebab lainnya adalah adanya perbedaan nyata dari sifat retraktif (aksi pembiasan cahaya) komponen padatan tanah dan udara. Hal ini dituturkan oleh Hardjowigeno (2003). Memiliki tekstur lempung berliat dan struktur sedang, karena pada saat pengambilan profil butir-butir struktur agak kuat dan tidak hancur atau rusak. Konsistensinya lepas, karena tanah tidak melekat satu sama lain, dan tidak ada karatan. Tidak adanya karatan disebabkan adanya keseimbangan antara oksidasi dan reduksi yang terjadi di dalam tanah.
Lapisan II pada profil dalam mempunyai kedalaman lapisan 36 - 121 cm dan berwarna coklat muda. Memiliki tekstur lempung berliat dan struktur sedang karena pada saat pengambilan profil butir-butir struktur agak kuat dan tidak hancur atau rusak. Konsistensinya lepas karena tanah tidak melekat satu sama lain, dan tidak ada karatan. Tidak adanya karatan disebabkan adanya keseimbangan antara oksidasi dan reduksi yang terjadi di dalam tanah.
Lapisan III pada profil dalam berwarna coklat muda dengan kedalaman lapisan 121 - 134 cm. Memiliki tekstur liat dan struktur halus. Konsistensinya gembur, karena diperlukan sedikit tekanan untuk menghancurkan gumpalan tanah dengan meremasnya. Tidak memiliki karatan karena adanya keseimbangan antara oksidasi dan reduksi yang terjadi di dalam tanah.
Pada profil dangkal, lapisan I memiliki kedalaman lapisan 0 - 35 cm dengan warna coklat. Memiliki tekstur liat berdebu dan struktur yang halus. Konsistensinya agak plastik, karena hanya gulungan tanah kurang dari 1 cm yang dapat terbentuk. Memiliki karatan Fe yang berwarna agak merah bata. Terbentuk karatan Fe karena terjadinya reduksi besi ke bentuk larutan dan oksidasi yang menyebabkan terjadinya presipitasi. Hal ini sependapat dengan Hardjowigeno (2003), yang menjelaskan bahwa bila tanah kadang-kadang basah kadang-kadang kering, terdapat bercak-bercak karatan di tempat-tempat dimana udara dapat masuk sehingga terjadi oksidasi besi di tempat tersebut.
Lapisan II pada profil dangkal memiliki kedalaman 35 - 67 cm dengan warna abu-abu. Memiliki tekstur liat berdebu dan struktur yang halus. Konsistensinya agak plastik karena hanya gulungan tanah kurang dari 1 cm yang dapat terbentuk. Memiliki karatan Mn yang berwarna hitam seperti arang, tetapi apabila diremas tidak meninggalkan noda hitam di tangan. Karatan Mn terjadi karena terjadinya reduksi mangan ke bentuk larutan dan oksidasi yang menyebabkan terjadinya presipitasi yang berwarna hitam seperti arang. Adanya karatan menunjukkan bahwa udara masih dapat masuk ke dalam tanah sehingga terjadi oksidasi di tempat tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardjowigeno (2003) bahwa bila air tidak pernah menggenang sehingga tata udara dalam tanah selalu baik, maka seluruh profil tanah dalam keadaan oksidasi . Oleh karena itu seluruh tanah umumnya berwarna merah atau coklat.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan
6.1.1 Profil Dalam
- Lapisan I mempunyai kedalaman 0 - 36 cm dengan warna coklat kehitaman, memiliki batasan lapisan berangsur, topografi batas lapisan berombak, konsistensi tanah lepas, tekstur lempung berliat, struktur sedang, dan tidak ada karatan.
- Lapisan II mempunyai kedalaman 36 - 121 cm dengan warna tanah coklat muda, memiliki batasan lapisan baur, topografi batas lapisan berombak, konsistensi tanah lepas, tekstur lempung berliat, struktur sedang, dan tidak ada karatan.
- Lapisan III mempunyai kedalaman 121 - 134 cm dengan warna tanah coklat muda, memiliki batasan lapisan baur, topografi batas lapisan rata, konsistensi tanah gembur, tekstur liat, struktur halus, dan tidak ada karatan.
6.1.2 Profil Dangkal
- Lapisan I mempunyai kedalaman 0 - 35 cm dengan warna coklat, batasan lapisan nyata, topografi batas lapisan berombak, tekstur liat berdebu, struktur halus, konsistensi agak plastik, dan terdapat karatan Fe.

- Lapisan II mempunyai kedalaman 35 - 67 cm dengan warna abu-abu, batasan lapisan nyata, topografi batas lapisan berombak, tekstur lempung berdebu, struktur halus, konsistensi agak plastik, dan terdapat karatan Mn.
6.2 Saran
Berdasarkan dari pengamatan yang telah dilakukan bahwa tanah yang dipakai pada percobaan ini merupakan tanah yang cukup subur, maka sebaiknya ditanami dengan tanaman yang berproduksi tinggi dengan perawatan yang baik.

DAFTAR PUSTAKA


Buckman dan Brady, 1982. Ilmu Tanah. Bharata Karya Aksara, Jakarta
Foth, Hendry D., 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Erlangga, Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Hakim, N., M. Yusuf Nyakpa, A. M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Amin Diha, Go Ban Hong, H. H. Bailey, 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung

Hardjowigeno, H. Sarwono., 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta

Munir, 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Pustaka Jaya, Jakarta















KADAR FOSFAT, NITRAT DAN SILIKAT KAITANNYA DENGAN KESUBURAN DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR

Marojahan Simanjuntak
abstrak
Pengamatan kadar zat hara, fosfat, nitrat dan silikat di perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur telah dilakukan pada bulan September 2003. Zat hara merupakan sumber bahan makanan bagi mikro-organisme laut dan salah satu indikator kesuburan perairan. Contoh air laut permukaan perairan lepas pantai diambil dari 4 stasiun penelitian dengan menggunakan Roset Sampler dari Kapal Riset Baruna Jaya VII, dan contoh air permukaan dari alur-alur di kawasan delta diambil dengan Botol Nansen dari perahu nelayan. Secara keseluruhan hasil pengamatan kadar fosfat, nitrat dan silikat di Delta Mahakam masing-masing berkisar antara 0,40-8,08 µg A/l dengan rata-rata 1,34 µg A/l; 5,52-7,96 µg A/l dengan rata-rata 6,57 µg A/l dan 27,74-99,80 µg A/l dengan rata-rata 69,64 µg A/l dan di lepas pantai (laut) masing-masing berkisar antara 0,32-0,96 µg A/l dengan rata-rata 0,67 µg A/l; 0,32-1,10 µg A/l dengan rata-rata 0,62 µg A/l dan 2,10-5,81 µg A/l dengan rata-rata 3,73 µg A/l. Kadar zat hara yang lebih tinggi diperoleh di sebelah timur dan selatan daerah penelitian ini terutama yang berdekatan dengan muara sungai. Dalam tulisan ini dikaji tentang kualitas air laut ditinjau dari kadar zat hara fosfat, nitrat dan silikat kaitannya dengan dinamika perairan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya di perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur.
abstract
PHOSPHATE, NITRATE AND SILICATE CONCENTRATIONS IN THE RELATION WITH FERTILITY IN DELTA MAHAKAM WATERS, EAST KALIMANTAN - The observation on nutrient content, such as phosphate, nitrate and silicate, in the Delta Mahakam Waters, East Kalimantan was carried out in September 2003. The nutrient is food for marine microorganism and waters fertility indicator. Samples of seawaters from sea surface were taken from 4 stations using Rosette Sampler from the board of Research Vessel Baruna Jaya VII, and surface waters samples from 17 stations in delta distributaries system were taken using Nansen Bottles from the boat. In general the result of observation of phosphate, nitrate and silicate concentrations in the Delta Mahakam were found ranged 0,40-8,08 µg A/l with the mean values 1,34 µg A/l; 5,52-7,96 µg A/l with the mean values 6,57 µg A/l and 27,74-99,80 µg A/l with the mean values 69,64 µg A/l and at the offshore 0,32-0,96 µg A/l with the mean values 0,67 µg A/l; 0,32-1,10 µg A/l with the mean values 0,62 µg A/l and 2,10-5,81 µg A/l with the mean values 3,73 µg A/l respectively. The purpose of the observation was study seawaters quality to be related nutrient content `and effect of waters dynamics in the Delta Mahakam, East Kalimantan.

PENDAHULUAN
Perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur merupakan salah satu perairan yang sangat penting karena dari letak geografisnya terjadi percampuran (mixing) air tawar yang berasal dari Sungai-sungai di Kalimantan Timur diantaranya Sungai Mahakam dan Balikpapan yang memungkinkan daerah tersebut sangat baik untuk kehidupan berbagai biota laut terutama bidang perikanan. Daerah pertemuan air tawar dan air laut pada umumnya subur karena bahan organik dan anorganik banyak mengendap mengakibatkan kadar zat hara di daerah tersebut relatif lebih tinggi (Bennekom et al., 1978). Zat hara fosfat, nitrat dan silikat merupakan salah satu mata rantai makanan yang dibutuhkan dan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme di laut. Plankton merupakan salah satu parameter biologi yang erat hubungannya dengan kandungan zat hara. Tinggi rendahnya kelimpahan plankton tergantung kepada kandungan zat hara di perairan tersebut (Nybakken 1982). Dari data yang diperoleh dari Pemerintah Daerah Kalimantan Timur khususnya Dinas Perikanan Propinsi Kalimantan Timur (komunikasi langsung) telah diperoleh informasi tentang pemanfaatan sumber daya laut di perairan tersebut, misalnya bidang sumber daya perikanan merupakan sumber devisa daerah yang utama disamping bidang pertambangan yaitu pasir dan timah maupun sumber daya alam lainnya. Di sepanjang Delta Mahakam yaitu lokasi yang berdekatan dengan muara sungai-sungai dari Kalimantan Timur di temukan kadar zat hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan di sebelah utara yang dipengaruhi massa air Selat Makassar. Dari data kimia zat hara yang diperoleh, mengindikasikan bahwa kualitas air laut perairan Kalimantan Timur ditinjau dari parameter kimia zat hara masih baik untuk kehidupan berbagai biota laut terutama bidang perikanan. Parameter kimia zat hara yang diamati yaitu fosfat, nitrat dan silikat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kandungan zat hara fosfat, nitrat dan silikat, dan kaitannya dengan kesuburan perairan di kawasan Delta Mahakam.
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan bulan September 2003. Contoh air permukaan laut diambil dari 4 stasiun lepas pantai Delta Mahakam dengan menggunakan Roset Sampler dari Kapal Riset Baruna Jaya VII, dan 17 stasiun di alur-alur delta dengan Botol Nansen dari Perahu Nelayan (Gambar 1). Segera setelah pengambilan, sampel-sampel disaring dengan kertas saring merk Millipore (0.45 µm). Kadar fosfat, nitrat dan silikat dianalisis menggunakan Spektrofotometer “Shimadzu” menurut metode Strickland and Parson (1968) masing-masing pada panjang gelombang 885, 543 dan 810 nm dalam satuan µg A/l.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini disajikan dalam Tabel 1. Secara keseluruhan hasil pengamatan kadar fosfat, nitrat dan silikat di Delta Mahakam masing-masing berkisar antara 0,40-8,08 µg A/l dengan rata-rata 1,34 µg A/l ; 5,52-7,96 µg A/l dengan rata-rata 6,57 µg A/l dan 27,74-99,80 µg A/l dengan rata-rata 69,64 µg A/l dan di lepas pantai (laut) masing-masing berkisar antara 0,32-0,96 µg A/l dengan rata-rata 0,67 µg A/l ; 0,32-1,10 µg A/l dengan rata-rata 0,62 µg A/l dan 2,10-5,81 µg A/l dengan rata-rata 3,73 µg A/l.

FosfatKadar fosfat di lapisan permukaan di perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur berkisar antara 0,40-8,08 µg A/l dengan rata-rata 1,34 µg A/l. Variasi kadar fosfat pada lapisan permukaan terlihat meragam di semua stasiun penelitian, namun secara keseluruhan kadar fosfat di perairan ini masih normal untuk wilayah tropis. Kadar fosfat di lapisan permukaan yang terendah (0,40 µg A/l) diperoleh pada Stasiun 15 dan kadar fosfat yang tertinggi (8,08 µg A/l) diperoleh pada Stasiun 12. Kadar fosfat di lepas pantai (laut) berkisar antara 0,32-0,96 µg A/l dengan rata-rata 0,67 µg A/l. Kadar fosfat di lepas pantai (laut) yang terendah (0,32 µg A/l) diperoleh pada Stasiun A dan kadar fosfat yang tertinggi (0,96 µg A/l) diperoleh pada Stasiun B (Tabel 1). Dari pola sebaran terlihat kadar fosfat yang rendah pada lapisan permukaan di lepas pantai (laut) Kalimantan Timur dan yang tertinggi diperoleh di dekat pantai dan delta Mahakam (Gambar 2). Rendahnya kadar fosfat di lapisan permukaan di lepas pantai (laut) pada Stasiun A (0,32 ml/l) dipengaruhi percampuran massa air laut yang masuk dari lepas pantai dengan kadar fosfat yang lebih rendah dengan kadar fosfat yang berada di muara Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Sedangkan tingginya kadar fosfat di lokasi dekat dan lepas pantai kemungkinan disebabkan arus dan pengadukan (turbulence) massa air yang mengakibatkan terangkatnya kandungan fosfat yang tinggi dari dasar ke lapisan permukaan.

Ditinjau dari kadar zat hara fosfat di perairan ini, dapat dikatakan bahwa perairan ini relatif subur karena masih berada pada kisaran zat hara fosfat di perairan laut yang normal yaitu 0,10–1,68 µg A/l (Sutamihardja, 1978). Menurut Joshimura (dalam Liaw, 1969) tingkat kesuburan perairan dapat ditinjau dari kadar fosfat dalam suatu perairan dengan kisaran 0,07–1,61 µg A/l adalah kategori perairan cukup subur, sedangkan pada beberapa perairan seperti di perairan Teluk Penghu dan Selat Taiwan, merupakan daerah budidaya (oyster) dengan kadar fosfat yang berkisar antara 0,08–1,20 µg A/l (Liu. K. K & Fang, L. S, 1986), sehingga bila ditinjau dari kadar fosfat yang merupakan salah satu indikator kesuburan, maka perairan Teluk Klabat masih baik untuk peruntukan budidaya perikanan. Kadar fosfat yang baik untuk budidaya kerang hijau dan kerang bulu berkisar antara 0,5–1,0 µg A/l. Untuk budidaya tiram berkisar antara 0,5–3,0 µg A/l sedangkan untuk budidaya beronang, kakap dan kerapu berkisar antara 0,2–0,5 µg A/l (Baku Mutu Air Laut Departemen Pertanian dalam KLH, 1984).

NitratKadar nitrat di lapisan permukaan di perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur berkisar antara 5,52-7,96 µg A/l dengan rata-rata 6,57 µg A/l. Variasi kadar nitrat pada lapisan permukaan terlihat meragam di semua stasiun penelitian, namun secara keseluruhan kadar nitrat di perairan ini masih normal untuk wilayah tropis. Kadar nitrat di lapisan permukaan yang terendah (5,52 µg A/l) diperoleh pada Stasiun 15 dan kadar nitrat yang tertinggi (7,96 µg A/l) diperoleh pada Stasiun 16. Kadar nitrat di lepas pantai (laut) berkisar antara 0,32-1,10 µg A/l dengan rata-rata 0,62 µg A/l. Kadar nitrat di lepas pantai (laut) yang terendah (0,32 µg A/l) diperoleh pada Stasiun C dan kadar nitrat yang tertinggi (1,10 µg A/l) diperoleh pada Stasiun D (Tabel 1). Dari pola sebaran menunjukkan kadar nitrat yang rendah (0,32 ml/l) pada lapisan permukaan di lepas pantai (laut), Kalimantan Timur dan yang tertinggi (7,96 ml/l) diperoleh di dekat pantai dan delta Mahakam. Rendahnya kadar nitrat di lapisan permukaan pada Stasiun C yang terletak di lepas pantai mengindikasikan massa air laut tersebut mengandung kadar fosfat yang rendah yang berasal dari massa air laut Selat Makassar. Sedangkan kadar nitrat yang tinggi di delta Mahakam diperoleh di Stasiun 16 yaitu di Muara Kaek yang merupakan daerah akumulasi limbah organik dari daratan.

Liu & Fang 1986, menyatakan perairan Teluk Penghu dan Selat Taiwan, merupakan daerah budidaya (oyster) dengan kadar nitrat berkisar antara dan 0,08–1,80 µg A/l, sehingga bila ditinjau dari kadar nitrat yang merupakan salah satu indikator kesuburan, maka perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur masih baik untuk peruntukan budidaya perikanan. Kadar nitrat yang baik untuk budidaya kerang hijau dan kerang bulu berkisar antara 2,5–3,0 µg A/l. Untuk budidaya tiram berkisar antara 1,5–3,0 µg A/l sedangkan untuk budidaya beronang, kakap dan kerapu berkisar antara 0,9–3,2 µg A/l (Baku Mutu Air Laut Departemen Pertanian dalam KLH, 1984). Namun dari data yang diperoleh, ternyata hanya kadar fosfat yang cocok untuk budidaya tiram sedangkan kadar nitrat tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Baku Mutu tersebut. Hal ini mungkin disebabkan kadar nitrat sangat dipengaruhi kondisi perairan dan bervariasi dalam dimensi ruang dan waktu, namun telah diperoleh kondisi luwes untuk kadar fosfat dan nitrat dalam suatu peruntukan budidaya perikanan dalam suatu perairan (KMN-LH, 1988).
Silikat

Kadar silikat di lapisan permukaan di perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur berkisar antara 27,74-99,80 µg A/l dengan rata-rata 69,64 µg A/l. Variasi kadar silikat pada lapisan permukaan terlihat meragam di semua stasiun penelitian, namun secara keseluruhan kadar silikat di perairan ini masih normal untuk wilayah tropis (Tabel 1). Kadar silikat di lapisan permukaan yang terendah (27,74 µg A/l) diperoleh pada Stasiun 12 dan kadar silikat yang tertinggi (99,80 µg A/l) diperoleh pada Stasiun 13. Kadar silikat di lepas pantai (laut) berkisar antara 9,12-13,39 µg A/l dengan rata-rata 10,51 µg A/l. Kadar silikat di lepas pantai (laut) yang terendah (2,10 µg A/l) diperoleh pada Stasiun C dan kadar silikat yang tertinggi (5,81 µg A/l) diperoleh pada Stasiun A (Tabel 1). Dari pola sebaran terlihat kadar silikat yang rendah (2,10 µg A/l) pada lapisan permukaan di lepas pantai (laut) dan yang tinggi (99,80 µg A/l) pada Stasiun 13 di lokasi tengah Delta Mahakam, Kalimantan Timur (Gambar 4). Rendahnya kadar silikat di lapisan permukaan pada Stasiun C massa air laut tersebut mengandung kadar silikat yang rendah yang berasal dari massa air Selat Makassar. Sedangkan tingginya kadar silikat di lokasi tengah Delta Mahakam, Kalimantan Timur kemungkinan disebabkan pengaruh daratan yang lebih dominan menyumbang kandungan silikat ke perairan ini.
Kadar zat hara fosfat, nitrat dan silikat di perairan ini lebih besar bila dibandingkan dengan perairan Kuta-Lombok Selatan dengan kisaran 0,42-1,11 dan 0,11-0,39 µg A/l (Muchtar, 1994). Perbedaan ini disebabkan karena perairan Kuta-Lombok Selatan tidak dipengaruhi oleh sungai-sungai yang banyak membawa zat hara ke perairan tersebut. Namun kadar zat hara di perairan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan perairan Teluk Jakarta masing-masing dengan kisaran 0,20-0,90 dan 0,02-2,68 µg A/l (Ilahude dan Lia Saputra, 1980) dan di perairan Cilacap dengan kisaran 0,08-4,82 dan 0,08-5,66 µg A/l (Winata & Muchtar, 1984). Kondisi ini mungkin disebabkan banyaknya limbah organik yang dibuang ke Teluk Jakarta dan serasah mangrove yang diuraikan oleh bakteri menjadi zat hara.

KESIMPULAN
1. Sungai-sungai di Delta Mahakam, Kalimantan Timur sangat berperan dalam penyaluran zat-zat an-organik fosfat, nitrat dan silikat ke perairan Kalimantan Timur sehingga merupakan salah satu perairan yang subur di daerah tropis ditinjau dari kandungan zat hara fosfat, nitrat dan silikat.
2. Kualitas perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur ditinjau dari kandungan zat hara fosfat, nitrat dan silikat masih baik untuk peruntukan budidaya biota laut.
3. Pengaruh daratan terhadap kandungan zat hara fosfat, nitrat dan silikat di perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur lebih dominan dibandingkan dengan massa air Selat Makassar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada Nakhoda dan ABK KR. Baruna Jaya VII dan kepada Bapak Dr. Asikin Djamali APU, dan Drs. Pramudji M. Sc atas bantuan dan dukungannya yang telah diberikan kepada penulis dalam mempersiapkan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Anonimus 1985. Laporan Tahunan Sub Proyek Penelitian Sifat-sifat Oseanologi Laut Dangkal Puslitbang Oseanologi, Jakarta. Periode 1985-1986: 138-154.
Baku Mutu Air Laut, 1988. Keputusan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. Kep 02/MENKLH/ I / 1988. Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan: 57 hal.
Bennekom, A. J. van 1988. Deep-water transit times in the eastern Indonesian basins, calculated from dissolved silica in deep and interstitial waters, Neth. J. Sea Res. 22 :341-354.
Ilahude, A. G dan S. Lia Saputra 1980. Sebaran normal parameter hidrologi di Teluk Jakarta. Dalam : "Teluk Jakarta, pengkajian fisika, kimia, biologi dan geologi tahun 1975 - 1979". (A. Nontji dan A. Djamali, eds). Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI : 59-67.
KLH, 1984. Bahan Penyusunan RPP Baku Mutu Air Laut untuk Mandi, Renang, Biota Laut dan Budidaya Biota Laut. Lokakarya Baku Mutu Air Lingkungan Laut, Bogor, 23 – 25 Februari.
Liaw, W. K, 1969. Chemical and Biological Studies of fish Pond and Reservoir in Taiwan. Chinese America Joint Comission on Rural. Recontruction Fish, Series 7: 1-43
Liu Kon- Kee and Lee-Shing Fang, 1986. Nutrient Cycling in the Penghu Bay: A Study on Nutrient regeneration in sediments in an oyster farm. A eanographica Taiwanica. 17: 45-60.
Muchtar, M 1994. Struktur komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Selatan Lombok dan kondisi lingkungannya. Proyek Pengembangan Kelautan MREP 1993-1994, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta : 1-14.
Nybakken, J. W 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Alih bahasa oleh M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukarjo. Gramedia Jakarta : 459 hal.
Strickland, J. D. H and T. R. Parsons 1968. A Practical handbook of seawater analysis. Fish. Res. Board. Canada, Bull. 167 : 1 – 311.
Sutamihardja, R. T. M, 1978. Kualitas dan Pencemaran Lingkungan Sekolah. Pasca Sarjana Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB : 41 hal.
Winata, I dan M. Muchtar 1984. Zat hara fosfat, nitrat dan nitrit di perairan hutan mangrove Cilacap. Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove, LIPI : 308-312.

Senin, 09 November 2009

PREDIKSI PENURUNAN LUAS LAHAN BASAH AKIBAT PEMONDOKAN DI KECAMATAN TAMALANREA DALAM 8 TAHUN TERAKHIR

PENELITIAN PADA LOMBA KARYA TULIS TINGKAT MAHASISWA
(MOH. FIKRI POMALINGO)



I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri dalam dekade terakhir ini Lingkungan Hidup (LH) dan sumber daya alam (SDA) kita telah mengalami degradasi (penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas). Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah satu kesatuan komunitas yang terdiri dari tanah, air, udara, flora dan sumber daya alam lainnya beserta makhluk hidup yang ada di dalamnya. Dalam hal ini, banyak faktor yang berpengaruh atau yang menjadi penyebab terjadinya degradasi lingkungan hidup tersebut, baik faktor alami maupun non alami tindakan manusia yang sengaja atau tidak sengaja berdampak terhadap degradasi lingkungan hidup.
Sebagian besar kerusakan LH yang terjadi disebabkan oleh ulah manusia yang tidak/kurang bertanggung jawab terhadap kelestarian LH yang dengan sengaja mengekploitasi LH dengan semena-mena. Sebagian besar dari kerusakan LH yang terjadi dilakukan oleh kalangan pengusaha yang berkolusi dengan pejabat birokrasi pemerintahan terkait dan anggota masyarakat demi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa mempedulikan dampak kerugian yang ditimbulkannya. Untuk mengeliminasi degradasi LH, perlu dibangun dan ditumbuhkan kesadaran dan kepedulian semua elemen masyarakat agar dapat berperan serta dalam penanggulangan masalah degradasi LH sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Perlu disadari kita semua, bahwa degradasi LH akan dirasakan semakin membebani masa depan kita, terutama generasi penerus, karena penurunan degradasi LH berbanding terbalik dengan semakin meningkatnya kebutuhan akibat pertambahan penduduk yang semakin besar
Tingginya angka kelahiran tidak sebanding dengan angka kematian menyebabkan jumlah penduduk semakin banyak dan berpindahnya penduduk dari Desa ke Kota setidaknya mereka membutuhkan tempat bermukim di kota. Tidak sedikit areal rawah berubah menjadi lahan pemukiman dan sarana komersial, seperti yang kita saksikan disekitar kampus Unhas. 10 tahun yang lalu daerah yang berada di sebelah barat kampus Unhas mungkin daerah tersebut 85 persen adalah lahan rawah, tetapi sekarang secara kasat mata daerah tersebut telah berubah menjadi area pemukiman/pondokan.

1.2 TUJUAN DAN KEGUNAAN

Tujuan evaluasi penyusutan lahan rawah adalah untuk mengetahui persentasi perubahan lahan rawah sekitar kampus Unhas dalam kurun waktu 8 tahun.
Kegunaan hasil penelitian ini adalah untuk memprediksi dampak yang akan terjadi akibat penyusutan lahan rawah di sekitar kampus pada masa yang akan datang.




II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sumber Daya Lahan
Sumberdaya Lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah pemukiman, jalan untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sitorus (2001) dalam (Anonim 2008) mendefinsikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Mather (1986) dalam (Anonim 2008 A) menyatakan oleh karena itu sumberdaya lahan dapat dikatakan sebagai ekosistem karena adanya hubungan yang dinamis antara organisme yang ada di atas lahan tersebut dengan lingkungannya. Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya sehingga kelestariannya semakin terancam (Anonim, 2008 A).
Rustiadi (2001) dalam (Anonim 2008 A) menjelaskna bahwa permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita. Sementra itu Vink (1975) dalam (Anonim 2008 A) mengmukakan bahwa penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Anonim, 2008 A).
Ketersediaan lahan tergarap (cultivated farm land) per kapita dapat dijadikan indikator kekuatan daya dukung sumber daya lahan pertanian terhadap kecukupan penyediaan pangan nasional. Ditinjau dari indikator tersebut, Indonesia memang tergolong negara pertanian yang memiliki daya dukung lahan pertanian sangat lemah. Lahan pertanian tergarap untuk usaha tanaman bahan pangan yang kini tersedia hanya 7,8 juta hektar lahan basah dan 6,43 juta hektar lahan kering. Sayangnya, lebih dari 80 persen bahan pangan kita masih dihasilkan dari lahan basah yang relatif sempit tersebut. Dari lahan basah tadi, yang memiliki prasarana irigasi teknis hanya 2,21 juta hektar; lahan beririgasi setengah teknis dan irigasi pedesaan sekitar 2,6 juta hektar; dan sisanya lahan tadah hujan, rawa lebak, dan lahan pasang surut (Sumarno, 2005).

2.2. Lahan Rawa
Rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis. Definisi yang lain dari rawa adalah semua macam tanah berlumpur yang terbuat secara alami, atau buatan manusia dengan mencampurkan air tawar dan air laut, secara permanen atau sementara, termasuk daerah laut yang dalam airnya kurang dari 6 m pada saat air surut yakni rawa dan tanah pasang surut. Rawa yang memiliki penuh nutrisi adalah gudang harta ekologis untuk kehidupan berbagai macam makhluk hidup. Rawa juga disebut "pembersih alamiah" karena rawa-rawa itu berfungsi untuk mencegah polusi atau pencemaran lingkungan alam. Dengan alasan itu, rawa-rawa memiliki nilai tinggi dalam segi ekonomi, budaya, lingkungan hidup dan lain-lain, sehingga lingkungan rawa harus tetap dijaga kelestariannya (Anonim, 2009 B).
Bentuk permukaan lahan yang cekung, kadang-kadang bergambut, ciri kimiawi: derajat keasaman airnya terendah dan ciri biologis: terdapat ikan-ikan rawa, tumbuhan rawa, dan hutan rawa. Rawa dibedakan kedalam 2 jenis, yaitu: rawa pasang surut yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga oleh pasang surutnya air laut dan rawa non pasang surut atau rawa pedalaman atau rawa lebak yang terletak lebih jauh jaraknya dari pantai sehingga tidak dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut (Budi, Wignyosukarto, 2009)
Fungsi alamiah Rawa adalah Pengaturan hidrologi, sanitasi lingkungan, penopang kehidupan ikan, pemendam karbon yang mengekang pelepasan CO2 berkelebihan ke atmosfer. Kenyataannya, sekalipun berbekal bertahun-tahun pengalaman dan pengetahuan, ia, dalam seminar nasional 25 Tahun Pemanfaatan Gambut dan Pengembangan Kawasan Pasang Surut pada 1994, mengakui masih banyak hal yang belum dipahami. Di antaranya, fungsi ekologi lahan rawa pasang surut pada umumnya dan lahan rawa gambut pada khususnya, sistem pengembangan untuk mencapai produktivitas memadai yang berkelanjutan, sistem klasifikasi harkat lahan yang dapat mencerminkan kegunaan-kegunaan alternatif menurut konsep tata guna lahan, dan merancang sistem permukiman masyarakat pedesaan yang mapan (Tejoyuwono Notohadikusumo, 2001).
Negara kita termasuk kedalam tujuh negara di Asia Pasifik yang mempunyai lahan basah yang didukung oleh keanekaragaman lahan basah yang luas. Luas lahan basah di Indonesia adalah sekitar 38 juta ha. Lahan basah merupakan salah satu sumberdaya lahan yang sudah, sedang dan akan menjadi sasaran dalam usaha meningkatkan produksi pangan. Lahan basah tersebut mempunyai banyak kelebihan atau keunggulan dibandingkan lahan kering dalam hal untuk keperluan memproduksi pangan dan pemukiman. Lahan basah daerah pesisir (coastal wetland) adalah salah satu tipe lahan basah yang potensial untuk dikembangkan (Rudy C Tarumingkeng. dkk, 2002). Dalam 10 tahun terakhir sejak 2004, telah terjadi pengurangan sejumlah 10 juta hektar lahan basah dari yang sebelumnya mencapai 40,5 juta hektar. Lahan basah merupakan ekosistem yang paling terdegridasi dan diperkirakan telah hilang sebesar 50% dari luas lahan basah asli di dunia. Di Indonesia, antara tahun 1960-1990, seluas 269.000 hektar hutan mangrove musnah. Kemusnahan ini akibat konservasi lahan menjadi tambak udang. Kehancuran lahan basah ini dipicu oleh lemahnya kemauan dan tindakan negara dalam melindungi dan mengelola lahan basah, khususnya di wilayah pesisir. Kegiatan reklamasi pantai di Teluk Jakarta, Padang (Sumatera Barat), Lampung, dan Kalimantan Timur adalah sederet contoh pemusnahan ekosistem lahan basah dan hutan mangrove di sepanjang pesisir Indonesia, “tegas Abdul Halim, Koordinator Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) di Jakarta (Anonim, 2009 A).

2.3. Sebab-Sebab Terjadinya Degradasi Lingkungan Hidup
Ada dua faktor penyebab terjadinya degradasi lingkungan hidup (LH), pertama penyebab yang bersifat tidak langsung dan kedua penyebab yang bersifat langsung. Faktor penyebab tidak langsung merupakan penyebab yang sangat dominan terhadap kerusakan lingkungan, sedangkan yang bersifat langsung, terbatas pada ulah penduduk setempat yang terpaksa mengeksploitasi hutan/lingkungan secara berlebihan karena desakan kebutuhan. Faktor penyebab tersebut berikut ini bersifat tidak langsung (Anonim,2008 B).
1. Pertambahan Penduduk
Penduduk yang bertambah terus setiap tahun menghendaki penyediaan sejumlah kebutuhan atas “pangan, sandang dan papan (rumah)”. Sementara itu ruang muka bumi tempat manusia mencari nafkah tidak bertambah luas. Perluasan lapangan usaha itulah yang pada gilirannya menyebabkan eksploitasi lingkungan secara berlebihan dan atau secara liar (Anonim, 2008 B).
2 Kebijakan Pemerintah
Beberapa kebijakan pemerintah yang berdampak negatif terhadap LH. Sejak tahun 1970, pembangunan Indonesia dititikberatkan pada pembangunan industri yang berbasis pada pembangunan pertanian yang menyokong industri. Keinginan pemerintah Orde Baru saat itu yang segera ingin mewujudkan Indonesia sebagai negara industri, telah menyebabkan rakyat miskin mayoritas penduduk (terutama yang tidak memiliki lahan yang cukup) hanya menjadi “penonton” pembangunan. Bahkan sebagian dari mereka kehilangan mata pencarian sebagai buruh tani dan nelayan karena masuknya teknologi di bidang pertanian dan perikanan. Mereka ini karena terpaksa menggarap tanah negara secara liar di daerah pesisir hingga pegunungan (Anonim, 2008 B).
3. Dampak Industrialisasi.
Salah satu lahan basah yang dimiliki negara kita berwujud hutan rawa gambut. Data dari YEL menunjukkan bahwa luas hutan rawa gambut Tripa (selanjutnya ditulis Rawa Tripa) yang terletak di Kabupaten Nagan Raya berjumlah 61.803 ha. Namun luas Rawa Tripa itu dari tahun ke tahun terus mengalami penyusutan. Kalangan pebisnis sawit, istilah wetland, atau lahan basah, sering diplesetkan menjadi wasteland. Karena itu di berbagai belahan wilayah dunia, banyak lahan basah yang kemudian dikonversi untuk aktivitas ekonomi. Konversi Rawa Tripa untuk perkebunan sawit, diprihatinkan sejumlah kalangan. Soalnya bukan tidak kecil sumbangan yang diberikan Rawa Tripa terhadap kelestarian lingkungan Aceh. Suheri misalnya menyebutkan fungsi Rawa Tripa sebagai tempat penyimpan air tawar yang dapat digunakan masyarakat dan lahan pertanian di musim kemarau. Rawa Tripa juga tempat perkembangbiakan ikan, khususnya ikan lele yang kaya protein dan banyak digemari masyarakat Aceh. Rawa Tripa juga menyediakan kayu konstruksi dan bahan bakar, termasuk madu lebah dan tumbuhan obat yang tidak ternilai harganya. “Dan yang terpenting, Rawa Tripa berperan menjaga stabilitas iklim lokal, seperti curah hujan dan temperatur udara,”tambah Suheri. Masyarakat Desa Kuala Seumayam, yang kampungnya dikeliling Rawa Tripa juga menggantungkan hidup mereka dari kegiatan mencari ikan (Buntomi, 2009).
6. Lemahnya Penegakan Hukum
Lemah dan tidak jalannya sangsi atas pelanggaran dalam setiap peraturan yang ada memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran. Di pihak lain disinyalir adanya aparat penegak hukum yang terlibat dalam sehingga mengesankan peradilan masalah lingkungan seperti sandiwara belaka. Namun di atas itu semua lemahnya penegakan hukum sebagai akibat rendahnya komitmen dan kredibilitas moral penegak hukum merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap semakin maraknya perusakan lingkungan (Anonim, 2008 B).
7. Kesadaran Masyarakat yang Rendah
Kesadaran sebagian besar warga masyarakat yang rendah terhadap pentingnya pelestarian lingkungan/hutan merupakan satu hal yang menyebabkan ketidak pedulian masyarakat atas degradasi lingkungan yang semakin intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup yang memadai. Oleh karena itu, kini sudah saatnya pengetahuan tentang lingkungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD. Hal ini dipandang penting, karena kurangnya pengetahuan masyarakat atas fungsi dan manfaat lingkungan hidup telah menyebabkan pula rendahnya disiplin masyarakat dalam memperlakukan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah iptek lingkungan hidup (Anonim, 2008 B).

2.4. Dampak Degradasi Lingkungan Alami
Kerusakan Lingkingan Hidup (LH) mengakibatkan kerugian multi dimensi yang sangat besar seperti pemiskinan lahan (melalui erosi), sumber air tanah yang menipis, hilangnya habitat alami dan berubahnya pola iklim baik setempat (iklim mikro) maupun iklim global (iklim makro). Tanpa upaya yang konsepsional sejumlah dampak negatif tersebut, berbarengan dengan perubahan waktu, akan berproses secara sinergis sehingga menimbulkan bencana alam yang dahsyat dan akan berjalan secara akseleratif (berlipat ganda semakin cepat).
Jika terus dibiarkan, musnahnya ekosistem pesisir akan mengakibatkan: (1) penurunan produksi pangan sehingga bisa meningkatkan risiko bencana banjir dan kelaparan; (2) peningkatan kerusakan pesisir akibat banjir dan badai; (3) peningkatan kasusu gizi buruk dan diare; (4) perubahan pola distribusi hewan dan serangga sebagai vektor penyakit. Terlebih, berdasarkan data IPCC, antara tahun 1970 hingga 2004, di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2-10C (Anonim, 2009 A).
Pencemaran udara semakin meningkat tajam di kota-kota besar, metropolitan dan kawasan industri. Gas buangan (CO2) dari kendaraan yang lalu lalang semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah kendaraan itu sendiri. Dengan diproduksinya kendaraan murah (Toyota Avanza dan Xenia) yang dijual secara kredit, akan menambah lonjakan jumlah kendaraan, hal ini akan menambah kemacetan lalu lintas di kota besar. Dampaknya akan terjadi lonjakan tingkat pencemaran udara yang luar biasa (Anonim, 2008 B).
2.5 Upaya Mencegah dan Mengatasi Perusakan Lingkungan.
Untuk mengurangi lajunya perusakan lingkungan yang mengatas-namakan desakan pemenuhan kebutuhan diperlukan serangkaian upaya strategis yang melibatkan seluruh komponen masyarakat secara terpadu terkoordinasi dan sinergis. Upaya itu harus merupakan sesuatu gerakan yang secara konsepsional memungkinkan semua kalangan terlibat semua komponen bangsa harus punya visi, misi, komitmen dan kepedulian yang sama terhadap pentingnya manfaat pelestarian LH dan bahaya degradasi LH. Beberapa upaya yang dapat ditempuh adalah :
1. Sosialisasi pentingnya pengetahuan tentang lingkungan hidup yang lestari dan bahaya kerusakan lingkungan. Untuk dapat dibuat suatu buku mengenai hal tersebut yang disusun secara sederhana, praktis, mudah difahami oleh siapa saja. Sosialisasi pengetahuan LH ini sangat tepat diberikan kepada anak sejak usia dini. Oleh karena itu pelajaran LH harus diberikan di SD atau TK dalam bentuk cerita yang menarik.
2. Menyusun peraturan perundang-undangan seperti penguatan dan pengayaan (Repowerring and Enrichment) yang sudah ada. Peraturan perundang-undangan yang telah ada dirasakan masih kurang dan perlu direvisi. Diperlukan peraturan jabaran seperti PP, Keppres, Permen/Kepmen dan Perda sampai ke petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis), untuk petugas lapangan.
3. Mereformasi Sisdiknas yang dapat menghasilkan “SDM Siap Pakai” dan mengembangkan pendidikan “Vocational”. Untuk mewujudkan hal tersebut yang perlu dikembangkan adalah pendidikan keterampilan kerja berupa pendidikan kejuruan. Namun agar diperhatikan bahwa dikjur dan kursus keterampilan itu harus sesuai dengan potensi sumber daya yang ada di setiap daerah. Termasuk di dalamnya adalah pendidikan keterampilan pengelolaan sumber daya laut yang potensinya begitu besar.
4. Pemberian sangsi hukum yang berat dan tegas tanpa pandang bulu kepada para penjahat lingkungan. Peraturan yang ada sekarang mengenai pengelolaan lingkungan hidup (UU No.23/1997) belum memuat sangsi hukum yang jelas dan tegas terhadap pelaku pelanggaran dan kejahatan lingkungan. Dikarenakan lingkungan merupakan sistem yang komplek yang menyangkut sejumlah komponen, seperti flora, fauna, lahan, perairan dan lain-lain, dalam penanganannya menghendaki sistem peradilan adhoc (melibatkan ahli dari berbagai bidang terkait).
5 Perlunya ada komitmen politik dari pemerintah yang menyatakan bahwa para pelaku kejahatan lingkungan sebagai pelaku kejahatan luar biasa yang harus diperangi bersama. Hal itu dapat diwujudkan dalam bentuk pengeluaran kebijakan yang sangat ketat dalam eksploitasi sumber daya alam (SDA), sangat hati-hati dalam memberikan ijin pengelolaan SDA di dalam hutan lindung.




2.5. Kaitan Citra Landsat dengan Studi Lahan Pertanian Nasional

Citra Landsat diaplikasikan untuk mengidentifikasi jenis penutupan lahan, misalnya luas area petak sawah, tanaman seragam. Ketelitian citra landsat mencapai 95% untuk mengidentifikasi sawah irigasi di Kalifornia dan lahan gandum di Kansas, Oklahoma, dan Texas di Amerika. Tetapi identifakasi tanaman di negara berkembang ketelitiannya lebih rendah hanya sekitar 75% - 85% (Sutanto, 1994).
Dalam pengenalan objek yang tergambar pada citra ada tiga rangkaian kegiatan yang diperlukan, yaitu mendeteksi, mengidentifikasi, dan menganalisis. Deteksi ialah pengamatan atas adanya suatu objek misalnya pada gambaran sungai terdapat objek yang bukan air. Identifikasi ialah upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup. Deteksi berarti penentuan ada atau tidak adanya suatu objek pada citra, deteksi merupakan tahap awal dalam interpretasi citra. Keterangan yang diperoleh dari deteksi bersifat global sedangkan keterangan yang diperoleh pada tahap interpretasi bersifat terperinci (Lintz dan Simonett, 1976).

III.METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakasanakan disekitar area kampus Unhas pada Bulan Mei dan hasil survei lapangan dianalisa di Laboratorium Geographic Information System (GIS) milik Program Studi Teknik Pertanian pada Bulan Juni 2009.



3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah:
1. 1 unit GPS (Global Position System)
2. Software Ermapper seri 6.4
3. Sofware Arc View 3.3
Sedangkan Bahan yang digunakan adalah :
1. Citra Landsat wilayah Makassar tahun 2000 dan 2008.
2. Peta Administrasi kota Makassar.
3.3. Prosedur Kerja
Dasar penelitian ini adalah membandingkan luas lahan rawah pada citra Landsat yang diambil pada tahun 2000 dan 2008. Adapu prosedur kerja penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.3.1 Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik bertujuan untuk memperbaiki nilai piksel agar sesuai dengan warna asli. Prosedur metode pergeseran histogram adalah sebagai berikut:
1. Menampilkan citra pada Algorithms.
2. Pada Algorithms pilih edit transforms limit
3. Pada kotak dialog Transforms perhatikan Actual Input Limits. Menurut metode Histogram Adjustment, nilai piksel terendah adalah 0. Jika nilai terendah bukan nol, maka terdapat nilai bias.
4. Apabila terdapat nilai bias pada citra maka, langkah selanjutnya adalah pilih Edit Formula pada Algorithms.
5. Aktifkan salah saluran (band) pada citra, misalnya band 1.
6. Pada kotak dialog Formula Editor input nilai bias, tekan botton Apply Changes.
7. Mengulang Poin 1 sampai 5 untuk saluran (band) Selanjutnya.

3.3.2 Koreksi Geometrik
Pergeseran koordinat terjadi disebabkan oleh faktor putaran (roll), gerak anggukan (pith) dan penyimpangan dari garis lurus (yaw) platform satelit dan kelengkungan bumi. Prosedur kerja koreksi geometrik sebagai berikut:
1. Pada Main Menu Er Mapper pilih Prosces, pilih Geocoding Wizard.
2. Pada kotak dialog Geocoding Wizard, pada Geocoding types pilih polynomial, Input file Citra, Tekan Polynomial Setup.
3. Pada Polynomial Order pilih Linier, tekan botton GCP Setup.
4. Pada GCP Piking Method input file citra, tekan botton GCP Edit.
5. Pada kotak dialog Geocoding Wizard Step 4 of 5, input koordinat kontrol poin minimal 4 titik. Tekan botton Rectify
6. Geocoding Wizard Step 5 of 5, buat file baru. Tekan Save File and Start Rectification.

3.3.3 Training Area
Training area adalah suatu teknik pemisahan/penggolongan penutup suatu lahan (land cover) diatas citra, berdasarkan keseragaman atau kemiripan antara nilai piksel citra lokasi sampel dengan lokasi yang lain. Prosedur training area klasifikasi adalah sebagai berikut:
1. Mengambil batas-batas koordinat jenis penutupan lahan yang dominan di lokasi penelitian menggunakan GPS.
2. Mengolah data poin satu (1) di atas citra (image). Prosedur kerja mengolah data menggunakan program ER Mapper adalah sebagai berikut:
a. Menampilkan citra Landsat tahun 2000 yang telah terkoreksi secara radiometrik dan geometrik pada jendela Algorithms.
b. Input data koordinat semua koordinat penutupan lahan di atas citra.
c. Melakukan digitasi di atas citra yang ditunjuk oleh koordinat.
d. Mengulangai poin c di atas untuk batas koordinat penutupan lahan lain.
3. Analisis Data Pengamatan
a. Menghitung Data statistik training area
Prosedur menghitung data statistik training area sebagai berikut:
1. Pada menu toolbar utama pilih proses, pilih calculate statistic, pada kotak dialog Calculate Statictic terdapat kotak dialog yang harus di isi antaranya :
Dataset = isi nama file citra
Sub Sampling Interval = isi nilai 1
Force Calculate = di-ceklist
2. Tekan button OK.
3. Proses menghitung statistik dimulai. Jika proses menghitung selesai dan berhasil, tekan botton OK. Tutup kotak dialog Calculate Statictic.
b. Mangklasifikasi Data Training Area
Prosedur melakukan klasifikasi training area sebagai berikut:
1. Pada menu toolbar utama pilih proses, classification pilih supervised classification Pada kotak dialog classification terdapat kolom dialog sebagai berikut:
Input dataset = isi nama file citra
Output Dataset = buat file baru
Input Bands = semua band (saluran)
Classification type = Max_likelihood
2. Setelah kotak dialog Supervised diisi, maka tekan botton OK.
3. Proses klasifikasi berlangsung. Jika proses selesai tekan botton OK. Kemudian tutup kotak dialog Supervised Clasification.
4. Mengulang Poin 2 dan 3 tiga di atas untuk citra Landsat tahun 2008
5. Membanding luas lahan persawahan pada citra tahun 2000 dengan tahun 2008. Begitupun jenis penutupan lahan yang lainnya.







3.3.4 Validasi Data Training dengan Objek Sebenarnya
Validasi data adalah untuk mengetahui akurasi citra dalam mengelompokkan obyek yang teridentifikasi sebagai lahan pertanaman kakao dan jenis penutupan lahan lain. Prosedur melakukan validasi data training adalah sebagai berikut:
1. Mencatat koordinat-koordinat lokasi yang diidentifikasi oleh citra sebagai lahan perkebunan kakao dan dan class penutupan lahan lain.
2. Mengecek lokasi yang diidentifikasi oleh citra sebagai kakao.
3. Mencatat jumlah lokasi yang diidentifikasi sebagai lahan perkebunan kakao dan terbukti perkebunan kakao.
4. Mencatat jumlah lokasi yang diidentifikasi sebagai lahan perkebunan kakao tetapi bukan perkebunan kakao.
5. Mengulang poin 1 sampai 4 di atas untuk lokasi penutupan lahan lain.

6. Menghitung tingkat akurasi klasifikasi terpantau. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Prosedur menghitung User Accurasy
b. Prosedur menghitung Produser Accurasy
c. Prosedur menghitung Metode Matriks

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Prediksi Perubahan Lahan Pada Citra dalam 8 Tahun Terakhir

Hasil analisis tutupan lahan di kecamatan Tamalanrea 8 tahun terakhir pada citra Landsat masing-masing sebagai berikut:
Lahan Gedung pada tahun 2000 luas area gedung hanya 525,196 ha pada tahun 2008 luas area gedung meningkat drastis hal ini ditunjukkan luasnya mencapai angka 2199,420 ha. Meningkatnya area gedung di Kecamatan Tamalanrea dalam delapan tahun terakhir adalah angka yang sangat mungkin terjadi, karena antara tahun 2000 dengan 2008 kondisi wilayah tamalanrea sangat jauh. Tahun 2000 dari Tello sampai BTP disepanjang jalan masih terdapat lahan rawa atau persawahan, kemudian kita melihat kondisi sekarang lahan-lahan terssebut telah berdiri kokoh bangunan baik itu sarana hiburan maupun sarana kepuasan berbelanja/ lahan komersial. Padahal dahulu wilayah tamalanrea kental dengan suasana akademik dalam artian hanya berdiri bangunan sarana pendidikan tetapi kenyataan yang kita saksikan sekarang ini suasana tersebut lambat laun bergeser menjadi suasana komersialisasi dengan berdirinya gedung-gedung raksasa.
Gambar 4.1. Perbangan Luas Lahan Antara Tahun 2000 dengan 2008.

Lahan pemukiman mengalami penurunan luas lahan, hal ini tidak logis karena seharusnya lahan pemukiman bertambah akan tetapi justru luasnya menurun dimana tahun 2000 sekitar 6336,945 ha tahun 2008 luasnya tinggal 4981,410 ha. Hal ini terjadi dugaan kuat disebabkan 2 faktor utama yang pertama citra tahun 2000 sangat jernih sehingga tingkat akurasi lebih baik ,sementara citra tahun 2008 sebagian badannya tertutupi oleh awan diduga awan tersebut tepat di atas lahan pemukiman sehingga lahan yang tertutupi oleh awan tidak diidentifikasi citra sebagai lahan pemukiman dan dikenali sebagai lahan yang lain. Yang kedua kemungkanan besar lahan pemukiman diidentifikasi sebagai area gedung karena nilai gelombang elektromagnetik mungkin sama atau mirip.
Dalam waktu 8 tahun luas lahan rawa semakin menyusut, luas lahan rawa tahun 2000 sekitar 2540, 700 ha analisis citra tahun 2008 luas lahan rawa tinggal 1495, 890 ha saja. Kecamatan Tamalanrea dalam 8 tahun terkhir kehilangan lahan rawa sekitar 1044,81 ha. Kemana lahan seluas itu?, tentu kita semua pasti menjawab dengan jawaban yang sama yaitu telah disulap menjadi tempat perbelanjaan, sarana hiburan, dan lahan pemukiman. Berbicara soal dampak positif dan negatif mengenai alih fungsi lahan rawa tentu ada dampak positifnya akan tetapi namun yang kita ingin tekankan apakah maslahat perubahan lahan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih dasyat pada masa yang akan datang ? kalau kita mendengar atau membaca keterangan dari para peneliti dan pemerhati lingkungan hidup mereka semua bahwa lahan rawa sangat berperan penting dalam kesimbangan ekosistem lingkinagan hindup. Sebagaimana pernyataan Prof. Tejoyuwono Notohadikusumo “fungsi alamiah rawa adalah Pengaturan hidrologi, sanitasi lingkungan, penopang kehidupan ikan, pemendam karbon yang mengekang pelepasan CO2 berkelebihan ke atmosfer”. Berdasarkan data tersebut maka rata-rata jumlah lahan rawa yang hilang sekitar 130,6013 ha/tahun. Apabila laju perubahan lahan rawa menjadi lahan yang lain terutama untuk pemukiman maka dapat diprediksi lahan rawa di Kecamatan tamalanrea hanya akan mampu bertahan sektar 11 tahun saja. Mengigatkan begitu pentingnya keberadaan lahan rawa disuatu wilayah, maka himbuan kepada semua pihak untuk melakukan pencagahan sejak dini agar lahan rawa tetap terjaga baik secara kuantitas maupun kualitas.
Semak belukar mengalami penurunan jumlah pada tahun 2000 luasnya 1853, 526 ha kemudian tahun 2008 luasnya menurun sampai 1298, 970 ha. Berdasarkan hasil tersebut semak belukar tidak mengalami penurun yang sangat drastis.
Pada lahan tubuh luasnya justru bertambah dari 2269,521 ha tahun 2000 meningkat menjadi 3373.110 ha. Hal ini desebabkan oleh faktor ketepatan dalam mengambil luas laut pada kedua citra, area laut yang diambil pada citra tahun 2008 lebuh besar daripada tahun 2008. Sehingga jumlah erea lebih besar. Kedua erea tubuh air pada tahun 2000 tertutup oleh semak belukar sehingga dikenali sebagai rawa atau semak belukar. Tahun 2008 saat lahan tersebut dipotret oleh citra bersih dari semak sehingga teridentifikasi sebagai area tubuh air.

Gambar 4.2. Persentasi Luas Jenis Penutupan Lahan Tahun 2000.
Gambar 4.3. Persentasi Luas Jenis Penutupan Lahan Tahun 2008.

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kelestraian lingkungan tidak dibeban kepada satu golongan tetapi dibangun di atas kesadaran tiap-tiap lapisan masyarakat.

5.2 Saran

Untuk merubah fungsi suatu lahan harus memperhatikan maslahat dan mudaratnya.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008 A . Sumber Daya Alam .www.damandiri.or.id author web (diakses tgl, 17 Juni 2009)

Anonim, 2008 B. Dampak Kerusakan Lingkungan. http://www/. Amisillymale’s Weblog.htm (diakses tgl 17 Juni 2009)

Anonim, 2009 A. Hari Lahan Basah Dunia 2009. http://kiara.or.id. 4244. muterweb .net/index .php (diakses tgl, 18 Juni 2009).

Anonim, 2009 B. Rawa. http://id.wikipedia.org./wiki/rawa. (diakses tgl, 18 Juni 2009).
Buntomi, 2009. Hutan Rawa Tripa Untuk Mitigasi Bencana di Aceh (I). http:// buntomijanto wordpress.com (diakses 18 Juni 2009).
Notohadikusumo, Tejoyuwono, 2001 . Menyelamatkan Lahan Gambut Sejuta Hektare dari Kehancuran Total. http://suarapembaruan. com/News/ html (diakses tgl, 18 Juni 2009).

Sumarno, 2005. Indonesia Tak (Lagi) Kaya Sumber Lahan Pertanian. (diakses tgl, 18 Juni 2009).

Sutanto, 1994. Penginderaan Jauh. jilid II. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Tarumingkeng Rudy C. Dkk, 2002. Pengelolaan Lahan Basah Pesisir (Coastal
Wetland) Secara Terpadu Dan Berkelanjutan. PPS702kel3@yahoo.com (diakses tgl 17 Juni 2009)

Wignyosukarto, Budi, 2009. Konsep Dasar Pengembangan Rawa Untuk Pertanian. http://www. Budi Wignyosukarto’s Room.html (diakses tgl 17 Juni 2009).