Senin, 09 November 2009

PREDIKSI PENURUNAN LUAS LAHAN BASAH AKIBAT PEMONDOKAN DI KECAMATAN TAMALANREA DALAM 8 TAHUN TERAKHIR

PENELITIAN PADA LOMBA KARYA TULIS TINGKAT MAHASISWA
(MOH. FIKRI POMALINGO)



I.PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri dalam dekade terakhir ini Lingkungan Hidup (LH) dan sumber daya alam (SDA) kita telah mengalami degradasi (penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas). Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah satu kesatuan komunitas yang terdiri dari tanah, air, udara, flora dan sumber daya alam lainnya beserta makhluk hidup yang ada di dalamnya. Dalam hal ini, banyak faktor yang berpengaruh atau yang menjadi penyebab terjadinya degradasi lingkungan hidup tersebut, baik faktor alami maupun non alami tindakan manusia yang sengaja atau tidak sengaja berdampak terhadap degradasi lingkungan hidup.
Sebagian besar kerusakan LH yang terjadi disebabkan oleh ulah manusia yang tidak/kurang bertanggung jawab terhadap kelestarian LH yang dengan sengaja mengekploitasi LH dengan semena-mena. Sebagian besar dari kerusakan LH yang terjadi dilakukan oleh kalangan pengusaha yang berkolusi dengan pejabat birokrasi pemerintahan terkait dan anggota masyarakat demi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa mempedulikan dampak kerugian yang ditimbulkannya. Untuk mengeliminasi degradasi LH, perlu dibangun dan ditumbuhkan kesadaran dan kepedulian semua elemen masyarakat agar dapat berperan serta dalam penanggulangan masalah degradasi LH sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Perlu disadari kita semua, bahwa degradasi LH akan dirasakan semakin membebani masa depan kita, terutama generasi penerus, karena penurunan degradasi LH berbanding terbalik dengan semakin meningkatnya kebutuhan akibat pertambahan penduduk yang semakin besar
Tingginya angka kelahiran tidak sebanding dengan angka kematian menyebabkan jumlah penduduk semakin banyak dan berpindahnya penduduk dari Desa ke Kota setidaknya mereka membutuhkan tempat bermukim di kota. Tidak sedikit areal rawah berubah menjadi lahan pemukiman dan sarana komersial, seperti yang kita saksikan disekitar kampus Unhas. 10 tahun yang lalu daerah yang berada di sebelah barat kampus Unhas mungkin daerah tersebut 85 persen adalah lahan rawah, tetapi sekarang secara kasat mata daerah tersebut telah berubah menjadi area pemukiman/pondokan.

1.2 TUJUAN DAN KEGUNAAN

Tujuan evaluasi penyusutan lahan rawah adalah untuk mengetahui persentasi perubahan lahan rawah sekitar kampus Unhas dalam kurun waktu 8 tahun.
Kegunaan hasil penelitian ini adalah untuk memprediksi dampak yang akan terjadi akibat penyusutan lahan rawah di sekitar kampus pada masa yang akan datang.




II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sumber Daya Lahan
Sumberdaya Lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah pemukiman, jalan untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sitorus (2001) dalam (Anonim 2008) mendefinsikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Mather (1986) dalam (Anonim 2008 A) menyatakan oleh karena itu sumberdaya lahan dapat dikatakan sebagai ekosistem karena adanya hubungan yang dinamis antara organisme yang ada di atas lahan tersebut dengan lingkungannya. Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya sehingga kelestariannya semakin terancam (Anonim, 2008 A).
Rustiadi (2001) dalam (Anonim 2008 A) menjelaskna bahwa permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita. Sementra itu Vink (1975) dalam (Anonim 2008 A) mengmukakan bahwa penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Anonim, 2008 A).
Ketersediaan lahan tergarap (cultivated farm land) per kapita dapat dijadikan indikator kekuatan daya dukung sumber daya lahan pertanian terhadap kecukupan penyediaan pangan nasional. Ditinjau dari indikator tersebut, Indonesia memang tergolong negara pertanian yang memiliki daya dukung lahan pertanian sangat lemah. Lahan pertanian tergarap untuk usaha tanaman bahan pangan yang kini tersedia hanya 7,8 juta hektar lahan basah dan 6,43 juta hektar lahan kering. Sayangnya, lebih dari 80 persen bahan pangan kita masih dihasilkan dari lahan basah yang relatif sempit tersebut. Dari lahan basah tadi, yang memiliki prasarana irigasi teknis hanya 2,21 juta hektar; lahan beririgasi setengah teknis dan irigasi pedesaan sekitar 2,6 juta hektar; dan sisanya lahan tadah hujan, rawa lebak, dan lahan pasang surut (Sumarno, 2005).

2.2. Lahan Rawa
Rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis. Definisi yang lain dari rawa adalah semua macam tanah berlumpur yang terbuat secara alami, atau buatan manusia dengan mencampurkan air tawar dan air laut, secara permanen atau sementara, termasuk daerah laut yang dalam airnya kurang dari 6 m pada saat air surut yakni rawa dan tanah pasang surut. Rawa yang memiliki penuh nutrisi adalah gudang harta ekologis untuk kehidupan berbagai macam makhluk hidup. Rawa juga disebut "pembersih alamiah" karena rawa-rawa itu berfungsi untuk mencegah polusi atau pencemaran lingkungan alam. Dengan alasan itu, rawa-rawa memiliki nilai tinggi dalam segi ekonomi, budaya, lingkungan hidup dan lain-lain, sehingga lingkungan rawa harus tetap dijaga kelestariannya (Anonim, 2009 B).
Bentuk permukaan lahan yang cekung, kadang-kadang bergambut, ciri kimiawi: derajat keasaman airnya terendah dan ciri biologis: terdapat ikan-ikan rawa, tumbuhan rawa, dan hutan rawa. Rawa dibedakan kedalam 2 jenis, yaitu: rawa pasang surut yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga oleh pasang surutnya air laut dan rawa non pasang surut atau rawa pedalaman atau rawa lebak yang terletak lebih jauh jaraknya dari pantai sehingga tidak dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut (Budi, Wignyosukarto, 2009)
Fungsi alamiah Rawa adalah Pengaturan hidrologi, sanitasi lingkungan, penopang kehidupan ikan, pemendam karbon yang mengekang pelepasan CO2 berkelebihan ke atmosfer. Kenyataannya, sekalipun berbekal bertahun-tahun pengalaman dan pengetahuan, ia, dalam seminar nasional 25 Tahun Pemanfaatan Gambut dan Pengembangan Kawasan Pasang Surut pada 1994, mengakui masih banyak hal yang belum dipahami. Di antaranya, fungsi ekologi lahan rawa pasang surut pada umumnya dan lahan rawa gambut pada khususnya, sistem pengembangan untuk mencapai produktivitas memadai yang berkelanjutan, sistem klasifikasi harkat lahan yang dapat mencerminkan kegunaan-kegunaan alternatif menurut konsep tata guna lahan, dan merancang sistem permukiman masyarakat pedesaan yang mapan (Tejoyuwono Notohadikusumo, 2001).
Negara kita termasuk kedalam tujuh negara di Asia Pasifik yang mempunyai lahan basah yang didukung oleh keanekaragaman lahan basah yang luas. Luas lahan basah di Indonesia adalah sekitar 38 juta ha. Lahan basah merupakan salah satu sumberdaya lahan yang sudah, sedang dan akan menjadi sasaran dalam usaha meningkatkan produksi pangan. Lahan basah tersebut mempunyai banyak kelebihan atau keunggulan dibandingkan lahan kering dalam hal untuk keperluan memproduksi pangan dan pemukiman. Lahan basah daerah pesisir (coastal wetland) adalah salah satu tipe lahan basah yang potensial untuk dikembangkan (Rudy C Tarumingkeng. dkk, 2002). Dalam 10 tahun terakhir sejak 2004, telah terjadi pengurangan sejumlah 10 juta hektar lahan basah dari yang sebelumnya mencapai 40,5 juta hektar. Lahan basah merupakan ekosistem yang paling terdegridasi dan diperkirakan telah hilang sebesar 50% dari luas lahan basah asli di dunia. Di Indonesia, antara tahun 1960-1990, seluas 269.000 hektar hutan mangrove musnah. Kemusnahan ini akibat konservasi lahan menjadi tambak udang. Kehancuran lahan basah ini dipicu oleh lemahnya kemauan dan tindakan negara dalam melindungi dan mengelola lahan basah, khususnya di wilayah pesisir. Kegiatan reklamasi pantai di Teluk Jakarta, Padang (Sumatera Barat), Lampung, dan Kalimantan Timur adalah sederet contoh pemusnahan ekosistem lahan basah dan hutan mangrove di sepanjang pesisir Indonesia, “tegas Abdul Halim, Koordinator Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) di Jakarta (Anonim, 2009 A).

2.3. Sebab-Sebab Terjadinya Degradasi Lingkungan Hidup
Ada dua faktor penyebab terjadinya degradasi lingkungan hidup (LH), pertama penyebab yang bersifat tidak langsung dan kedua penyebab yang bersifat langsung. Faktor penyebab tidak langsung merupakan penyebab yang sangat dominan terhadap kerusakan lingkungan, sedangkan yang bersifat langsung, terbatas pada ulah penduduk setempat yang terpaksa mengeksploitasi hutan/lingkungan secara berlebihan karena desakan kebutuhan. Faktor penyebab tersebut berikut ini bersifat tidak langsung (Anonim,2008 B).
1. Pertambahan Penduduk
Penduduk yang bertambah terus setiap tahun menghendaki penyediaan sejumlah kebutuhan atas “pangan, sandang dan papan (rumah)”. Sementara itu ruang muka bumi tempat manusia mencari nafkah tidak bertambah luas. Perluasan lapangan usaha itulah yang pada gilirannya menyebabkan eksploitasi lingkungan secara berlebihan dan atau secara liar (Anonim, 2008 B).
2 Kebijakan Pemerintah
Beberapa kebijakan pemerintah yang berdampak negatif terhadap LH. Sejak tahun 1970, pembangunan Indonesia dititikberatkan pada pembangunan industri yang berbasis pada pembangunan pertanian yang menyokong industri. Keinginan pemerintah Orde Baru saat itu yang segera ingin mewujudkan Indonesia sebagai negara industri, telah menyebabkan rakyat miskin mayoritas penduduk (terutama yang tidak memiliki lahan yang cukup) hanya menjadi “penonton” pembangunan. Bahkan sebagian dari mereka kehilangan mata pencarian sebagai buruh tani dan nelayan karena masuknya teknologi di bidang pertanian dan perikanan. Mereka ini karena terpaksa menggarap tanah negara secara liar di daerah pesisir hingga pegunungan (Anonim, 2008 B).
3. Dampak Industrialisasi.
Salah satu lahan basah yang dimiliki negara kita berwujud hutan rawa gambut. Data dari YEL menunjukkan bahwa luas hutan rawa gambut Tripa (selanjutnya ditulis Rawa Tripa) yang terletak di Kabupaten Nagan Raya berjumlah 61.803 ha. Namun luas Rawa Tripa itu dari tahun ke tahun terus mengalami penyusutan. Kalangan pebisnis sawit, istilah wetland, atau lahan basah, sering diplesetkan menjadi wasteland. Karena itu di berbagai belahan wilayah dunia, banyak lahan basah yang kemudian dikonversi untuk aktivitas ekonomi. Konversi Rawa Tripa untuk perkebunan sawit, diprihatinkan sejumlah kalangan. Soalnya bukan tidak kecil sumbangan yang diberikan Rawa Tripa terhadap kelestarian lingkungan Aceh. Suheri misalnya menyebutkan fungsi Rawa Tripa sebagai tempat penyimpan air tawar yang dapat digunakan masyarakat dan lahan pertanian di musim kemarau. Rawa Tripa juga tempat perkembangbiakan ikan, khususnya ikan lele yang kaya protein dan banyak digemari masyarakat Aceh. Rawa Tripa juga menyediakan kayu konstruksi dan bahan bakar, termasuk madu lebah dan tumbuhan obat yang tidak ternilai harganya. “Dan yang terpenting, Rawa Tripa berperan menjaga stabilitas iklim lokal, seperti curah hujan dan temperatur udara,”tambah Suheri. Masyarakat Desa Kuala Seumayam, yang kampungnya dikeliling Rawa Tripa juga menggantungkan hidup mereka dari kegiatan mencari ikan (Buntomi, 2009).
6. Lemahnya Penegakan Hukum
Lemah dan tidak jalannya sangsi atas pelanggaran dalam setiap peraturan yang ada memberikan peluang untuk terjadinya pelanggaran. Di pihak lain disinyalir adanya aparat penegak hukum yang terlibat dalam sehingga mengesankan peradilan masalah lingkungan seperti sandiwara belaka. Namun di atas itu semua lemahnya penegakan hukum sebagai akibat rendahnya komitmen dan kredibilitas moral penegak hukum merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap semakin maraknya perusakan lingkungan (Anonim, 2008 B).
7. Kesadaran Masyarakat yang Rendah
Kesadaran sebagian besar warga masyarakat yang rendah terhadap pentingnya pelestarian lingkungan/hutan merupakan satu hal yang menyebabkan ketidak pedulian masyarakat atas degradasi lingkungan yang semakin intensif. Rendahnya kesadaran masyarakat ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup yang memadai. Oleh karena itu, kini sudah saatnya pengetahuan tentang lingkungan hidup dikembangkan sedemikian rupa dan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah umum mulai dari tingkat SD. Hal ini dipandang penting, karena kurangnya pengetahuan masyarakat atas fungsi dan manfaat lingkungan hidup telah menyebabkan pula rendahnya disiplin masyarakat dalam memperlakukan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah iptek lingkungan hidup (Anonim, 2008 B).

2.4. Dampak Degradasi Lingkungan Alami
Kerusakan Lingkingan Hidup (LH) mengakibatkan kerugian multi dimensi yang sangat besar seperti pemiskinan lahan (melalui erosi), sumber air tanah yang menipis, hilangnya habitat alami dan berubahnya pola iklim baik setempat (iklim mikro) maupun iklim global (iklim makro). Tanpa upaya yang konsepsional sejumlah dampak negatif tersebut, berbarengan dengan perubahan waktu, akan berproses secara sinergis sehingga menimbulkan bencana alam yang dahsyat dan akan berjalan secara akseleratif (berlipat ganda semakin cepat).
Jika terus dibiarkan, musnahnya ekosistem pesisir akan mengakibatkan: (1) penurunan produksi pangan sehingga bisa meningkatkan risiko bencana banjir dan kelaparan; (2) peningkatan kerusakan pesisir akibat banjir dan badai; (3) peningkatan kasusu gizi buruk dan diare; (4) perubahan pola distribusi hewan dan serangga sebagai vektor penyakit. Terlebih, berdasarkan data IPCC, antara tahun 1970 hingga 2004, di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2-10C (Anonim, 2009 A).
Pencemaran udara semakin meningkat tajam di kota-kota besar, metropolitan dan kawasan industri. Gas buangan (CO2) dari kendaraan yang lalu lalang semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah kendaraan itu sendiri. Dengan diproduksinya kendaraan murah (Toyota Avanza dan Xenia) yang dijual secara kredit, akan menambah lonjakan jumlah kendaraan, hal ini akan menambah kemacetan lalu lintas di kota besar. Dampaknya akan terjadi lonjakan tingkat pencemaran udara yang luar biasa (Anonim, 2008 B).
2.5 Upaya Mencegah dan Mengatasi Perusakan Lingkungan.
Untuk mengurangi lajunya perusakan lingkungan yang mengatas-namakan desakan pemenuhan kebutuhan diperlukan serangkaian upaya strategis yang melibatkan seluruh komponen masyarakat secara terpadu terkoordinasi dan sinergis. Upaya itu harus merupakan sesuatu gerakan yang secara konsepsional memungkinkan semua kalangan terlibat semua komponen bangsa harus punya visi, misi, komitmen dan kepedulian yang sama terhadap pentingnya manfaat pelestarian LH dan bahaya degradasi LH. Beberapa upaya yang dapat ditempuh adalah :
1. Sosialisasi pentingnya pengetahuan tentang lingkungan hidup yang lestari dan bahaya kerusakan lingkungan. Untuk dapat dibuat suatu buku mengenai hal tersebut yang disusun secara sederhana, praktis, mudah difahami oleh siapa saja. Sosialisasi pengetahuan LH ini sangat tepat diberikan kepada anak sejak usia dini. Oleh karena itu pelajaran LH harus diberikan di SD atau TK dalam bentuk cerita yang menarik.
2. Menyusun peraturan perundang-undangan seperti penguatan dan pengayaan (Repowerring and Enrichment) yang sudah ada. Peraturan perundang-undangan yang telah ada dirasakan masih kurang dan perlu direvisi. Diperlukan peraturan jabaran seperti PP, Keppres, Permen/Kepmen dan Perda sampai ke petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis), untuk petugas lapangan.
3. Mereformasi Sisdiknas yang dapat menghasilkan “SDM Siap Pakai” dan mengembangkan pendidikan “Vocational”. Untuk mewujudkan hal tersebut yang perlu dikembangkan adalah pendidikan keterampilan kerja berupa pendidikan kejuruan. Namun agar diperhatikan bahwa dikjur dan kursus keterampilan itu harus sesuai dengan potensi sumber daya yang ada di setiap daerah. Termasuk di dalamnya adalah pendidikan keterampilan pengelolaan sumber daya laut yang potensinya begitu besar.
4. Pemberian sangsi hukum yang berat dan tegas tanpa pandang bulu kepada para penjahat lingkungan. Peraturan yang ada sekarang mengenai pengelolaan lingkungan hidup (UU No.23/1997) belum memuat sangsi hukum yang jelas dan tegas terhadap pelaku pelanggaran dan kejahatan lingkungan. Dikarenakan lingkungan merupakan sistem yang komplek yang menyangkut sejumlah komponen, seperti flora, fauna, lahan, perairan dan lain-lain, dalam penanganannya menghendaki sistem peradilan adhoc (melibatkan ahli dari berbagai bidang terkait).
5 Perlunya ada komitmen politik dari pemerintah yang menyatakan bahwa para pelaku kejahatan lingkungan sebagai pelaku kejahatan luar biasa yang harus diperangi bersama. Hal itu dapat diwujudkan dalam bentuk pengeluaran kebijakan yang sangat ketat dalam eksploitasi sumber daya alam (SDA), sangat hati-hati dalam memberikan ijin pengelolaan SDA di dalam hutan lindung.




2.5. Kaitan Citra Landsat dengan Studi Lahan Pertanian Nasional

Citra Landsat diaplikasikan untuk mengidentifikasi jenis penutupan lahan, misalnya luas area petak sawah, tanaman seragam. Ketelitian citra landsat mencapai 95% untuk mengidentifikasi sawah irigasi di Kalifornia dan lahan gandum di Kansas, Oklahoma, dan Texas di Amerika. Tetapi identifakasi tanaman di negara berkembang ketelitiannya lebih rendah hanya sekitar 75% - 85% (Sutanto, 1994).
Dalam pengenalan objek yang tergambar pada citra ada tiga rangkaian kegiatan yang diperlukan, yaitu mendeteksi, mengidentifikasi, dan menganalisis. Deteksi ialah pengamatan atas adanya suatu objek misalnya pada gambaran sungai terdapat objek yang bukan air. Identifikasi ialah upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup. Deteksi berarti penentuan ada atau tidak adanya suatu objek pada citra, deteksi merupakan tahap awal dalam interpretasi citra. Keterangan yang diperoleh dari deteksi bersifat global sedangkan keterangan yang diperoleh pada tahap interpretasi bersifat terperinci (Lintz dan Simonett, 1976).

III.METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakasanakan disekitar area kampus Unhas pada Bulan Mei dan hasil survei lapangan dianalisa di Laboratorium Geographic Information System (GIS) milik Program Studi Teknik Pertanian pada Bulan Juni 2009.



3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah:
1. 1 unit GPS (Global Position System)
2. Software Ermapper seri 6.4
3. Sofware Arc View 3.3
Sedangkan Bahan yang digunakan adalah :
1. Citra Landsat wilayah Makassar tahun 2000 dan 2008.
2. Peta Administrasi kota Makassar.
3.3. Prosedur Kerja
Dasar penelitian ini adalah membandingkan luas lahan rawah pada citra Landsat yang diambil pada tahun 2000 dan 2008. Adapu prosedur kerja penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.3.1 Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik bertujuan untuk memperbaiki nilai piksel agar sesuai dengan warna asli. Prosedur metode pergeseran histogram adalah sebagai berikut:
1. Menampilkan citra pada Algorithms.
2. Pada Algorithms pilih edit transforms limit
3. Pada kotak dialog Transforms perhatikan Actual Input Limits. Menurut metode Histogram Adjustment, nilai piksel terendah adalah 0. Jika nilai terendah bukan nol, maka terdapat nilai bias.
4. Apabila terdapat nilai bias pada citra maka, langkah selanjutnya adalah pilih Edit Formula pada Algorithms.
5. Aktifkan salah saluran (band) pada citra, misalnya band 1.
6. Pada kotak dialog Formula Editor input nilai bias, tekan botton Apply Changes.
7. Mengulang Poin 1 sampai 5 untuk saluran (band) Selanjutnya.

3.3.2 Koreksi Geometrik
Pergeseran koordinat terjadi disebabkan oleh faktor putaran (roll), gerak anggukan (pith) dan penyimpangan dari garis lurus (yaw) platform satelit dan kelengkungan bumi. Prosedur kerja koreksi geometrik sebagai berikut:
1. Pada Main Menu Er Mapper pilih Prosces, pilih Geocoding Wizard.
2. Pada kotak dialog Geocoding Wizard, pada Geocoding types pilih polynomial, Input file Citra, Tekan Polynomial Setup.
3. Pada Polynomial Order pilih Linier, tekan botton GCP Setup.
4. Pada GCP Piking Method input file citra, tekan botton GCP Edit.
5. Pada kotak dialog Geocoding Wizard Step 4 of 5, input koordinat kontrol poin minimal 4 titik. Tekan botton Rectify
6. Geocoding Wizard Step 5 of 5, buat file baru. Tekan Save File and Start Rectification.

3.3.3 Training Area
Training area adalah suatu teknik pemisahan/penggolongan penutup suatu lahan (land cover) diatas citra, berdasarkan keseragaman atau kemiripan antara nilai piksel citra lokasi sampel dengan lokasi yang lain. Prosedur training area klasifikasi adalah sebagai berikut:
1. Mengambil batas-batas koordinat jenis penutupan lahan yang dominan di lokasi penelitian menggunakan GPS.
2. Mengolah data poin satu (1) di atas citra (image). Prosedur kerja mengolah data menggunakan program ER Mapper adalah sebagai berikut:
a. Menampilkan citra Landsat tahun 2000 yang telah terkoreksi secara radiometrik dan geometrik pada jendela Algorithms.
b. Input data koordinat semua koordinat penutupan lahan di atas citra.
c. Melakukan digitasi di atas citra yang ditunjuk oleh koordinat.
d. Mengulangai poin c di atas untuk batas koordinat penutupan lahan lain.
3. Analisis Data Pengamatan
a. Menghitung Data statistik training area
Prosedur menghitung data statistik training area sebagai berikut:
1. Pada menu toolbar utama pilih proses, pilih calculate statistic, pada kotak dialog Calculate Statictic terdapat kotak dialog yang harus di isi antaranya :
Dataset = isi nama file citra
Sub Sampling Interval = isi nilai 1
Force Calculate = di-ceklist
2. Tekan button OK.
3. Proses menghitung statistik dimulai. Jika proses menghitung selesai dan berhasil, tekan botton OK. Tutup kotak dialog Calculate Statictic.
b. Mangklasifikasi Data Training Area
Prosedur melakukan klasifikasi training area sebagai berikut:
1. Pada menu toolbar utama pilih proses, classification pilih supervised classification Pada kotak dialog classification terdapat kolom dialog sebagai berikut:
Input dataset = isi nama file citra
Output Dataset = buat file baru
Input Bands = semua band (saluran)
Classification type = Max_likelihood
2. Setelah kotak dialog Supervised diisi, maka tekan botton OK.
3. Proses klasifikasi berlangsung. Jika proses selesai tekan botton OK. Kemudian tutup kotak dialog Supervised Clasification.
4. Mengulang Poin 2 dan 3 tiga di atas untuk citra Landsat tahun 2008
5. Membanding luas lahan persawahan pada citra tahun 2000 dengan tahun 2008. Begitupun jenis penutupan lahan yang lainnya.







3.3.4 Validasi Data Training dengan Objek Sebenarnya
Validasi data adalah untuk mengetahui akurasi citra dalam mengelompokkan obyek yang teridentifikasi sebagai lahan pertanaman kakao dan jenis penutupan lahan lain. Prosedur melakukan validasi data training adalah sebagai berikut:
1. Mencatat koordinat-koordinat lokasi yang diidentifikasi oleh citra sebagai lahan perkebunan kakao dan dan class penutupan lahan lain.
2. Mengecek lokasi yang diidentifikasi oleh citra sebagai kakao.
3. Mencatat jumlah lokasi yang diidentifikasi sebagai lahan perkebunan kakao dan terbukti perkebunan kakao.
4. Mencatat jumlah lokasi yang diidentifikasi sebagai lahan perkebunan kakao tetapi bukan perkebunan kakao.
5. Mengulang poin 1 sampai 4 di atas untuk lokasi penutupan lahan lain.

6. Menghitung tingkat akurasi klasifikasi terpantau. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Prosedur menghitung User Accurasy
b. Prosedur menghitung Produser Accurasy
c. Prosedur menghitung Metode Matriks

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Prediksi Perubahan Lahan Pada Citra dalam 8 Tahun Terakhir

Hasil analisis tutupan lahan di kecamatan Tamalanrea 8 tahun terakhir pada citra Landsat masing-masing sebagai berikut:
Lahan Gedung pada tahun 2000 luas area gedung hanya 525,196 ha pada tahun 2008 luas area gedung meningkat drastis hal ini ditunjukkan luasnya mencapai angka 2199,420 ha. Meningkatnya area gedung di Kecamatan Tamalanrea dalam delapan tahun terakhir adalah angka yang sangat mungkin terjadi, karena antara tahun 2000 dengan 2008 kondisi wilayah tamalanrea sangat jauh. Tahun 2000 dari Tello sampai BTP disepanjang jalan masih terdapat lahan rawa atau persawahan, kemudian kita melihat kondisi sekarang lahan-lahan terssebut telah berdiri kokoh bangunan baik itu sarana hiburan maupun sarana kepuasan berbelanja/ lahan komersial. Padahal dahulu wilayah tamalanrea kental dengan suasana akademik dalam artian hanya berdiri bangunan sarana pendidikan tetapi kenyataan yang kita saksikan sekarang ini suasana tersebut lambat laun bergeser menjadi suasana komersialisasi dengan berdirinya gedung-gedung raksasa.
Gambar 4.1. Perbangan Luas Lahan Antara Tahun 2000 dengan 2008.

Lahan pemukiman mengalami penurunan luas lahan, hal ini tidak logis karena seharusnya lahan pemukiman bertambah akan tetapi justru luasnya menurun dimana tahun 2000 sekitar 6336,945 ha tahun 2008 luasnya tinggal 4981,410 ha. Hal ini terjadi dugaan kuat disebabkan 2 faktor utama yang pertama citra tahun 2000 sangat jernih sehingga tingkat akurasi lebih baik ,sementara citra tahun 2008 sebagian badannya tertutupi oleh awan diduga awan tersebut tepat di atas lahan pemukiman sehingga lahan yang tertutupi oleh awan tidak diidentifikasi citra sebagai lahan pemukiman dan dikenali sebagai lahan yang lain. Yang kedua kemungkanan besar lahan pemukiman diidentifikasi sebagai area gedung karena nilai gelombang elektromagnetik mungkin sama atau mirip.
Dalam waktu 8 tahun luas lahan rawa semakin menyusut, luas lahan rawa tahun 2000 sekitar 2540, 700 ha analisis citra tahun 2008 luas lahan rawa tinggal 1495, 890 ha saja. Kecamatan Tamalanrea dalam 8 tahun terkhir kehilangan lahan rawa sekitar 1044,81 ha. Kemana lahan seluas itu?, tentu kita semua pasti menjawab dengan jawaban yang sama yaitu telah disulap menjadi tempat perbelanjaan, sarana hiburan, dan lahan pemukiman. Berbicara soal dampak positif dan negatif mengenai alih fungsi lahan rawa tentu ada dampak positifnya akan tetapi namun yang kita ingin tekankan apakah maslahat perubahan lahan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih dasyat pada masa yang akan datang ? kalau kita mendengar atau membaca keterangan dari para peneliti dan pemerhati lingkungan hidup mereka semua bahwa lahan rawa sangat berperan penting dalam kesimbangan ekosistem lingkinagan hindup. Sebagaimana pernyataan Prof. Tejoyuwono Notohadikusumo “fungsi alamiah rawa adalah Pengaturan hidrologi, sanitasi lingkungan, penopang kehidupan ikan, pemendam karbon yang mengekang pelepasan CO2 berkelebihan ke atmosfer”. Berdasarkan data tersebut maka rata-rata jumlah lahan rawa yang hilang sekitar 130,6013 ha/tahun. Apabila laju perubahan lahan rawa menjadi lahan yang lain terutama untuk pemukiman maka dapat diprediksi lahan rawa di Kecamatan tamalanrea hanya akan mampu bertahan sektar 11 tahun saja. Mengigatkan begitu pentingnya keberadaan lahan rawa disuatu wilayah, maka himbuan kepada semua pihak untuk melakukan pencagahan sejak dini agar lahan rawa tetap terjaga baik secara kuantitas maupun kualitas.
Semak belukar mengalami penurunan jumlah pada tahun 2000 luasnya 1853, 526 ha kemudian tahun 2008 luasnya menurun sampai 1298, 970 ha. Berdasarkan hasil tersebut semak belukar tidak mengalami penurun yang sangat drastis.
Pada lahan tubuh luasnya justru bertambah dari 2269,521 ha tahun 2000 meningkat menjadi 3373.110 ha. Hal ini desebabkan oleh faktor ketepatan dalam mengambil luas laut pada kedua citra, area laut yang diambil pada citra tahun 2008 lebuh besar daripada tahun 2008. Sehingga jumlah erea lebih besar. Kedua erea tubuh air pada tahun 2000 tertutup oleh semak belukar sehingga dikenali sebagai rawa atau semak belukar. Tahun 2008 saat lahan tersebut dipotret oleh citra bersih dari semak sehingga teridentifikasi sebagai area tubuh air.

Gambar 4.2. Persentasi Luas Jenis Penutupan Lahan Tahun 2000.
Gambar 4.3. Persentasi Luas Jenis Penutupan Lahan Tahun 2008.

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kelestraian lingkungan tidak dibeban kepada satu golongan tetapi dibangun di atas kesadaran tiap-tiap lapisan masyarakat.

5.2 Saran

Untuk merubah fungsi suatu lahan harus memperhatikan maslahat dan mudaratnya.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008 A . Sumber Daya Alam .www.damandiri.or.id author web (diakses tgl, 17 Juni 2009)

Anonim, 2008 B. Dampak Kerusakan Lingkungan. http://www/. Amisillymale’s Weblog.htm (diakses tgl 17 Juni 2009)

Anonim, 2009 A. Hari Lahan Basah Dunia 2009. http://kiara.or.id. 4244. muterweb .net/index .php (diakses tgl, 18 Juni 2009).

Anonim, 2009 B. Rawa. http://id.wikipedia.org./wiki/rawa. (diakses tgl, 18 Juni 2009).
Buntomi, 2009. Hutan Rawa Tripa Untuk Mitigasi Bencana di Aceh (I). http:// buntomijanto wordpress.com (diakses 18 Juni 2009).
Notohadikusumo, Tejoyuwono, 2001 . Menyelamatkan Lahan Gambut Sejuta Hektare dari Kehancuran Total. http://suarapembaruan. com/News/ html (diakses tgl, 18 Juni 2009).

Sumarno, 2005. Indonesia Tak (Lagi) Kaya Sumber Lahan Pertanian. (diakses tgl, 18 Juni 2009).

Sutanto, 1994. Penginderaan Jauh. jilid II. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Tarumingkeng Rudy C. Dkk, 2002. Pengelolaan Lahan Basah Pesisir (Coastal
Wetland) Secara Terpadu Dan Berkelanjutan. PPS702kel3@yahoo.com (diakses tgl 17 Juni 2009)

Wignyosukarto, Budi, 2009. Konsep Dasar Pengembangan Rawa Untuk Pertanian. http://www. Budi Wignyosukarto’s Room.html (diakses tgl 17 Juni 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar